Guru dan Kecerdasan Buatan

6 hours ago 1
Guru dan Kecerdasan Buatan (Dok. Pribadi)

ALAN Mathison Turing, dalam esainya yang terkenal Computing Machinery and Intelligence (1950), mengajukan pertanyaan mendasar: 'Dapatkah mesin berpikir?' Pertanyaan itu tidak hanya menjadi tonggak dalam diskursus kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI), tetapi juga terus relevan di tengah pesatnya perkembangan teknologi saat ini. AI, bersama mahadata (big data) dan internet of things (IoT), telah menjadi kekuatan disruptif yang mengubah berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan.

Meskipun perkembangan AI mengalami siklus naik turun--dikenal sebagai AI Springs dan AI Winter--dan dikritik karena masih terjebak dalam berbagai sesat pikir dalam memahami kecerdasan mesin (Mitchell, 2021), tidak dapat disangkal bahwa AI kini telah menjadi bagian dari realitas sehari-hari.

Kehadirannya memicu perdebatan: apakah AI solusi bagi berbagai tantangan manusia atau justru ancaman bagi eksistensi manusia itu sendiri? Dalam konteks pendidikan, perdebatan itu semakin relevan. Sejauh mana AI dapat berkontribusi dalam proses pembelajaran? Apakah AI akan menggantikan peran guru atau justru menjadi mitra yang memperkuat dunia pendidikan?

DISRUPSI TEKNOLOGI

Perkembangan dan penggunaan teknologi dalam ranah mendidikan ialah sebuah keniscayaan. Perkembangan pesat teknologi--di antaranya kecerdasan buatan--ialah disrupsi yang mengubah wajah dan dinamika dunia pendidikan. Penggunaan kecerdasan buatan dalam pendidikan tidak hanya mewakili kecenderungan/tren dalam zaman yang tak bisa diprediksi, semakin rentan, rumit dan membingungkan, tetapi telah menjadi kebutuhan yang semakin jamak ditemui.

Data survei Tirto dan Jakpat (Tirto.id dan Jakpat.net, Mei 2024), misalnya, menyatakan sebanyak 86.21% dari 1.501 responden pelajar/mahasiswa (berusia 15-21 tahun), terbiasa menggunakan bantuan kecerdasan buatan untuk menyelesaikan tugas sekolah/kuliah. Data lain dari WriterBuddy--penyedia layanan konten berbasis kecerdasan buatan--menyebutkan orang Indonesia berkontribusi atas 5,6% dari total 24 miliar kunjungan ke 50 situs perangkat AI antara periode September 2022 sampai Agustus 2023.

Data tersebut mengindikasikan bahwa kecerdasan buatan telah terintegrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di bidang pendidikan. Teknologi seperti Generative AI (Gen AI), termasuk ChatGPT, kini menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian pelajar dan mahasiswa.

Kecerdasan buatan menjanjikan kemudahan, kecepatan, dan kesuaian dengan kebutuhan mereka yang menggunakannya. Beberapa bentuk kecerdasan buatan populer seperti Duolingo membantu penggunanya untuk belajar bahasa yang diinginkan sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, kecepatan dan gaya belajar yang beragam (personalized learning).

Khanmigo, yang didukung GPT-4, mampu membantu bukan hanya murid dan guru, tetapi juga orangtua murid dalam belajar berbagi bidang studi, menyusun rencana pembelajaran yang efektif, atau memonitor aktivitas anak dalam menggunakan aplikasi berbasis kecerdasan buatan.

Beberapa bentuk kecerdasan buatan lain ialah Dragon Speech Recognition dari Nuance Communication Inc, aplikasi transkripsi percakapan menjadi teks yang mampu mengubah suara menjadi teks, 160 kata per menit, dengan akurasi tinggi. StepWise Virtual Tutor, platform pembelajaran STEM dapat membantu guru dan murid memahami bidang sains, teknologi, dan matematika dengan pengaturan disesuaikan dengan kebutuhan mereka melalui pembelajaran interaktif, kuis-kuis adaptif, dan umpan balik secara langsung.

Terakhir, Carnegie Learning, perangkat lunak yang menyediakan layanan pengembangan kurikulum dan bahan-bahan pelajaran untuk tingkat dasar sampai menengah atas. Melalui Cognitive Tutor, kecerdasan buatan akan mengajar penggunanya secara adaptif sesuai kemampuan mereka, memungkinkan guru melacak perkembangan siswa melalui umpan balik yang dinamis dan membantu penyusunan rencana pembelajaran yang sesuai.

Berbagai aplikasi berbasis kecerdasan buatan yang telah disebutkan menjadi tantangan besar bagi model pembelajaran konvensional. Pada derajat tertentu, teknologi itu menawarkan jawaban atas pertanyaan Turing mengenai apakah mesin dapat berpikir dan belajar seperti manusia. Sejumlah perangkat lunak berbasis AI telah menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dan belajar dari beragam respons pengguna.

Bayangkan jika siswa dapat dengan mudah menyesuaikan metode dan gaya belajar mereka, memperoleh jawaban yang akurat atas pertanyaan mereka, serta mengakses informasi dan solusi sesuai kebutuhan, kapan saja dan di mana saja. Hal itu membuat peran guru dalam proses pembelajaran menjadi semakin kompleks dan menantang. Seiring dengan pesatnya perkembangan kecerdasan buatan, muncul kekhawatiran yang tak terhindarkan: akankah guru suatu hari nanti benar-benar digantikan oleh mesin?

MESIN MENGGANTIKAN GURU

Menimbang perkembangan teknologi kecerdasan buatan, kekhawatiran bahwa mesin akan dapat menggantikan manusia dalam menjalankan fungsinya sebagai guru, tampak cukup beralasan. Representasi terbaik dari kekhawatiran itu setidaknya muncul melalui berbagai film fiksi-sains, saat mesin/robot dengan kecerdasan yang menyamai atau bahkan melebihi manusia, menggantikan banyak pekerjaan, mendominasi bahkan menaklukkan manusia.

Sebagian pandangan yang lebih optimistis berpendapat bahwa kecerdasan buatan berpotensi melampaui manusia dalam menghimpun serta mengolah pengetahuan dan informasi, bahkan dalam tingkat tertentu dapat dirancang untuk memiliki kepekaan serta mendukung nilai-nilai yang dianut manusia.

Namun, AI masih belum mampu menyamai kecerdasan manusia dalam hal common sense, yaitu pemahaman intuitif tentang dunia serta kemampuan menerapkan pengetahuan untuk memahami, memprediksi, dan bertindak dalam berbagai situasi yang kompleks (Mitchell, 2021).

Selain itu, AI dianggap tidak memiliki keyakinan, kesadaran, intensionalitas, maupun pengalaman subjektif seperti manusia karena sepenuhnya bergantung pada algoritma dan data. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti keberadaan AI dalam dunia pendidikan harus diabaikan atau ditolak, tetapi sebaiknya dimanfaatkan sebagai peluang kolaborasi untuk menciptakan sistem pembelajaran yang lebih baik (Murtiningsih, 2025).

Dalam era kecerdasan buatan, guru dituntut untuk terus belajar dan memiliki kelenturan beradaptasi dan berkolaborasi dengan dinamika kecerdasan buatan. Guru dapat memulainya dengan mengubah cara berpikir dan bertindak mereka dengan tidak menganggap dirinya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, mengambil posisi sebagai fasilitator yang terus belajar dalam proses pendidikan.

Membekali guru dengan pemahaman yang lebih baik atas prinsip-prinsip dasar kecerdasan buatan, melatih berpikir komputasional, menguasai prinsip penggunaan kecerdasan buatan yang berpusat pada manusia, memahami isu etika, pedagogi, dan pengembangan diri terkait dengan kecerdasan buatan perlu segera dilakukan. Dengan terus belajar dan beradaptasi, guru sedang menabung peluang untuk melakukan hal yang mungkin tidak pernah dilakukan mesin: menabalkan kesadaran kemanusiaan dan memberi inspirasi di masa depan.

Read Entire Article
Global Food