
KORBAN pemerkosaan massal asal Prancis, Gisèle Pelicot, kembali ke pengadilan pada Senin (6/10) untuk menghadapi salah satu pelaku yang mengajukan banding atas vonis tahun lalu. Dalam kasus yang mengejutkan dunia, sebanyak 51 pria dinyatakan bersalah memperkosa Pelicot yang saat itu dalam kondisi dibius suaminya di rumah mereka.
Saat itu, keberanian Pelicot tampil di depan publik dianggap sebagai momen penting dalam perjuangan melawan kekerasan seksual di Prancis. Namun, setahun kemudian, semangat optimisme itu tampaknya mulai pudar.
Di kota kecil Mazan, tempat Pelicot dan suaminya dulu tinggal, sebagian warga justru ingin melupakan kasus ini. “Kami lelah dikaitkan dengan salah satu persidangan pemerkosaan paling terkenal di dunia,” kata seorang pria dengan nada marah kepada wartawan.
Bahkan, Wali Kota Mazan, Louis Bonnet, menyebut tragedi yang dialami Pelicot sebagai “urusan pribadi yang tak ada hubungannya dengan kami.” Pernyataan ini menuai kritik, terutama karena sebelumnya ia pernah menyepelekan kasus itu dengan alasan “tidak ada yang terbunuh”.
Namun, banyak perempuan di Mazan tidak sependapat. Seorang pegawai negeri bernama Aurélie, 33, mengatakan, “Tidak ada yang membicarakan ini lagi, seolah tak pernah terjadi. Saya tahu ada perempuan yang mengalami kekerasan rumah tangga, tapi mereka takut bicara.”
Sementara Aurore Baralier, 68, melihat sisi positifnya: “Dunia sedang berubah, Prancis pun begitu. Kasus ini memberi kekuatan bagi perempuan untuk bersuara.”
Secara nasional, keberanian Pelicot yang menyerukan agar “rasa malu berpindah sisi. Berpindah dari korban ke pelaku” sempat menjadi pemicu gerakan besar melawan kekerasan seksual, seiring dengan pengaruh gerakan MeToo.
“Jumlah laporan pemerkosaan telah tiga kali lipat, artinya korban kini lebih berani bicara,” ujar Céline Piques, juru bicara organisasi feminis Dare to be Feminist.
Namun di sisi lain, para aktivis menilai perubahan nyata belum terjadi. Tingkat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual tetap stagnan meski laporan meningkat tajam.
“Kami menghadapi kemunduran. Budaya pemerkosaan kembali menguat, terutama di kalangan remaja laki-laki,” ungkap Alyssa Ahrabare, koordinator jaringan organisasi feminis Prancis.
Kini, Pelicot kembali ke pengadilan di kota Nîmes untuk menghadapi salah satu pelaku yang mengajukan banding. “Dia merasa harus hadir sampai proses hukum benar-benar selesai,” kata pengacaranya, Stéphane Babonneau.
Meski keberaniannya telah mengguncang sistem hukum Prancis, banyak pihak pesimistis perubahan besar akan segera terjadi. “Kasus ini memang menggugah, tapi perubahan masih sangat kecil,” ujar pengacara Élodie Tuaillon-Hibon.
“Budaya pemerkosaan di Prancis sudah mengakar. Hingga pemerintah menanganinya sebagai prioritas kebijakan publik, keadaan tak akan berubah.” (BBC/Z-2)