HAKIM Konstitusi (MK) Saldi Isra mengusulkan kepada KPU dan pembentuk Undang-Undang (UU) agar ketentuan pemberian nomor urut untuk lebih dari satu pasangan calon (paslon) dihapus. Sebab hal itu dipersoalkan saat sidang sengketa pilkada Pemilihan Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel) di Gedung MK, Jakarta, Jumat, (17/1).
“Ke depan ini kalau pasang calonnya ada dua atau tiga, tidak usah dikasih nomor lagi karena yang penting (adalah) gambarnya dicoblos,” kata Saldi.
Pada persidangan, termohon yakni Komisi Pemilihan Umum atau KPU Kota Tangerang Selatan menjawab dalil yang dipersoalkan pemohon terhadap video iklan layanan masyarakat yang diduga bermuatan kampanye. Gugatan sengketa ini diajukan oleh paslon wali kota dan wakil wali kota nomor urut 2, Ruhamaben-Shinta Wahyuni Chairuddin.
Iklan yang ditayangkan oleh salah satu media nasional itu diketahui menayangkan gestur satu jari yang dilakukan oleh pegawai penyelenggara pemilu, sehingga dianggap oleh pemohon sebagai pelanggaran netralitas. Atas dampak polemik tersebut, konten iklan layanan masyarakat yang dibuat KPU Tangerang Selatan itu diturunkan.
Saldi menilai bahwa persoalan nomor urut pasangan calon memang rumit dan kerap kali memiliki interpretasi yang berbeda. Menurutnya, setiap orang punya kecenderungan yang sudah terbiasa untuk menunjukkan gestur jari ketika berpose, namun kebiasaan itu justru bisa menjadi polemik pada saat masa Pilkada.
“Persoalan angka ini memang kadang-kadang repot. Kadang-kadang kan orang sudah biasa begini (pose jari 1) tapi kemudian dianggap kampanye,” kata Saldi
Lebih lanjut, Saldi menguatkan bahwa penghapusan nomor urut tidak memiliki dampak signifikan terhadap pelaksanaan Pilkada baik secara substansi dan teknis. Dikatakan bahwa yang terpenting ialah gambar pasangan calon bisa tercoblos ketika pemungutan suara.
“Ini bisa diperhatikan KPU, kalau calonnya terbatas sudah tidak perlu menggunakan nomor urut, kolomnya saja yang jelas,” ungkapnya.
Saldi menilai proses penghitungan suara juga tidak akan berpengaruh bila tidak ada nomor urut. Sebab, menurut dia, penghitungan suara tetap bisa dilakukan berdasarkan kolomnya saja.
“Jadi berdasarkan kolomnya saja dihitung ke depan, supaya kita tidak bias soal angka-angka ini, silahkan supaya didengar oleh KPU,” jelas Saldi.
Kendati demikian, Saldi menekankan bahwa UU yang berlaku telah mengatur perkara nomor urut penetapan pasangan calon ini. Ia pun menyarankan agar ketentuan tersebut diubah oleh pembentuk undang-undang jika usulan ini ditindaklanjuti.
“Tapi ini undang-undangnya menyuruh (harus) ada angka jadi biarkan undang-undangnya ini diubah oleh pembentuk undang-undang,” pungkasnya. (H-3)