RSF Tembak Mati Banyak Keluarga dan Minta Tebusan untuk Dokter

15 hours ago 4
RSF Tembak Mati Banyak Keluarga dan Minta Tebusan untuk Dokter Warga Sudan.(Al Jazeera)

BANYAK keluarga ditembak mati saat mereka berlindung. Anak-anak kecil menangisi jenazah ibu mereka di padang pasir. Para dokter ditawan untuk tebusan dan dieksekusi.

Begitulah kisah-kisah yang mengalir dari El Fashir, kota di Sudan, yang ditaklukkan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF), Minggu (26/10). Sebagian besar penduduk di dalam kota masih belum dapat dijangkau. Hanya segelintir orang yang trauma berhasil melarikan diri dan bersaksi atas kengerian peristiwa di sana.

Perang saudara Sudan, yang meletus pada 2023 setelah perebutan kekuasaan antara pimpinan RSF dan panglima militer, menjadi kobaran api yang meluas, menyedot kekuatan global dan regional, serta menghancurkan sebagian besar negara. RSF didukung Uni Emirat Arab (UEA). Di pihak lain, militer Sudan (SAF) menerima senjata dari Iran, Turki, dan Rusia.

Dalam laporan The Washington Post, kemarin, sembilan saksi termasuk warga sipil, dokter, dan pekerja kemanusiaan menggambarkan kampanye kekerasan tanpa pandang bulu yang dilakukan RSF dan kelompok sekutunya di El Fashir.

Kini perang yang merenggut ratusan ribu nyawa itu memasuki salah satu babak tergelapnya. Di tengah meningkatnya kemarahan internasional, pimpinan RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo--biasa dikenal sebagai Hemedti--mengakui pelanggaran pasukannya itu. 

Pada Kamis (30/10), kelompok tersebut merilis video yang menunjukkan penangkapan salah satu komandannya. Dalam video tersebut, sang komandan mengejek dan mengeksekusi sekelompok besar warga sipil.

Sanksi AS

Amerika Serikat (AS) memberikan sanksi kepada Hemedti dan para pemimpin RSF lain serta tokoh-tokoh penting di militer Sudan (SAF) yang juga dituduh melakukan kejahatan perang. Pada Kamis, sekelompok senator AS dari kedua partai mendesak pemerintah AS mengambil tindakan lebih lanjut terkait kejadian yang mereka sebut genosida di Darfur.

"Serangan bertarget etnis yang lama diprediksi oleh RSF terhadap penduduk sipil El-Fasher memperjelas bahwa AS harus mempertimbangkan penunjukan RSF sebagai Organisasi Teroris Asing potensial atau Organisasi Teroris Global yang Ditunjuk Khusus," ujar para senator, termasuk James E. Risch dan Jeanne Shaheen, anggota paling senior Komite Hubungan Luar Negeri, dalam suatu pernyataan yang dilansir Washington Post, kemarin.

Pernyataan itu juga penting karena mengkritik UEA, sekutu utama AS, yang membantah mendukung RSF. Padahal, terdapat banyak bukti bahwa UEA menyediakan senjata dan dukungan lain militer kepada kelompok tersebut.

"Para pendukung asing RSF dan SAF, termasuk UEA, Rusia, Iran, Tiongkok, pemerintah di kawasan tersebut, memicu dan mengambil keuntungan dari konflik tersebut serta melegitimasi monster-monster yang menghancurkan Sudan," demikian pernyataan tersebut.

Laporan dari Laboratorium Penelitian Kemanusiaan di Sekolah Kesehatan Masyarakat Yale menyebutkan bahwa gambar-gambar dari bekas Rumah Sakit Anak El Fashir, yang tidak beroperasi selama setahun dan digunakan sebagai tempat penahanan RSF, dan RS Saudi di dekatnya mengindikasikan pembunuhan massal minggu ini. Menurut WHO, Sekitar 460 orang dilaporkan tewas di rumah sakit Saudi tersebut.

Uang tebusan

Seorang dokter yang bekerja di bangsal bersalin rumah sakit Saudi tersebut mengatakan bahwa ia disandera RSF pada Minggu dan dibebaskan pada Rabu setelah membayar uang tebusan sebesar US$50.000. Ia terlalu sedih untuk menggambarkan pembunuhan yang disaksikannya, katanya, dan memohon bantuan untuk membebaskan rekan-rekan dokternya. Seperti orang lain yang diwawancarai untuk artikel tersebut, ia berbicara dengan syarat anonim demi alasan keamanan.

"RSF membunuh orang selama bertahun-tahun dan kami belum melihat tindakan apa pun terhadap mereka. Jadi apa gunanya berbicara dengan Anda?" tanya dokter itu. "Bayar saja RSF untuk membebaskan rekan-rekan kami. Siapa pun yang tidak (membayar) akan dibunuh."

Seorang pejuang RSF mengatakan kepada The Post bahwa beberapa dokter yang disandera dikirim ke selatan ke kota Nyala dan yang lain dieksekusi bersama warga sipil. Hampir semua pasien yang terluka di RS Saudi dan pusat kesehatan lain di El Fashir tewas.

"Kota itu benar-benar kacau," katanya. "Para pejuang datang dari berbagai daerah. Tak seorang pun bisa menghentikan mereka." 

Menurut komandan lain RSF, geng-geng bersenjata dari perdesaan kemungkinan akan menjarah El Fashir selama sebulan ke depan. Keduanya berbicara dengan syarat anonim karena takut akan pembalasan.

"Laporan yang masuk sangat mengerikan," kata seorang pekerja bantuan. Organisasinya berbicara dengan lebih dari 100 orang yang berhasil melarikan diri dari kota dan mencapai kota Tewila, titik terdekat bantuan dan perlindungan.

"Seseorang memberi tahu kami tentang tiga anak kecil. Semua berusia di bawah 4 tahun. Mereka berkerumun menangis di sekitar jenazah ibu mereka," lanjut pekerja bantuan itu. 

"Pria lain mengatakan warga sipil berlari dari barat kota dan mereka ditembaki saat berlari. Seorang pria mengatakan ada mayat setiap 10 meter. Seorang pria menggambarkan berlari melewati pria lain, separuh tubuhnya hancur dan dia memohon bantuan."

Dibunuh, diperkosa, diculik

Para pekerja bantuan sangat prihatin dengan sedikitnya orang yang mencapai Tewila. Padahal, hampir semua penduduk El Fashir pergi saat kota mereka jatuh. 

Selama berbulan-bulan, warga Sudan yang kelaparan dan berusaha melarikan diri dari pengepungan RSF di El Fashir dibunuh, diperkosa, atau diculik. Kelompok-kelompok bantuan khawatir nasib yang sama menimpa mereka yang mencoba melarikan diri sekarang dalam skala yang jauh lebih besar.

PBB mengatakan 260.000 orang tertinggal di El Fashir ketika pasukan RSF menyerbu kota itu. Menurut Mathilde Vu dari Dewan Pengungsi Norwegia, Kurang dari 5.000 orang berhasil mencapai Tewila dalam seminggu sejak itu.

"Orang-orang bilang ada begitu banyak mayat di jalan dan bau kematian ada di mana-mana," kata Vu. Sekitar sepersepuluh keluarga tiba dengan anak-anak yang bukan anak mereka sendiri, termasuk satu keluarga yang datang dengan bayi berusia 6 bulan dan anak kecil lain setelah orangtua mereka terbunuh. Semua orang yang tiba kekurangan gizi.

Salah satu pria langka yang berhasil keluar dari El Fashir mengatakan kepada The Post bahwa ia selamat hanya karena kelaparan selama pengepungan RSF selama 18 bulan membuatnya tampak jauh lebih tua dari usianya yang 55 tahun. Ia kurus kering, berambut putih, dan berkulit keriput.

Perlindungan di universitas

Saat pasukan RSF menyerbu kota, ia mengenang, ratusan keluarga mencari perlindungan di universitas setempat yang memiliki gedung-gedung yang lebih kokoh. "Semua orang yang mampu berlari atau berjalan ada di sana," katanya. "Perempuan, anak-anak, yang terluka, dan lansia." 

Saat berkerumun, mereka dibombardir dan diserang dengan drone. Kemudian orang-orang bersenjata datang.

"Pertama kami dibom, lalu terjadi penembakan," katanya. "Lebih dari 200 orang tewas, berlumuran darah, semua orang berusaha melarikan diri. Jika ada kata yang tepat untuk menggambarkannya, itu pasti genosida."

Rekaman dari universitas yang diverifikasi oleh The Post menunjukkan lorong yang dipenuhi mayat dan pria-pria berseragam RSF yang berjalan melewati mereka. Dengan santai, RSF menghabisi para penyintas dengan satu tembakan. 

Pria berambut putih itu melarikan diri ke bukit di belakang universitas bersama sepupunya dan sekitar 15 perempuan beserta anak-anak mereka. Namun, para pejuang RSF sudah menunggu mereka. "Mereka merampok para perempuan itu, mengambil uang dan telepon, lalu melepaskan tembakan," katanya.

Karena penampilan tua

Pria itu ditahan dan diinterogasi tetapi dibebaskan bersama lima pria lain karena penampilannya yang sudah tua. "Di semua desa dan jalan di sekitarnya, ada mayat-mayat," katanya. Kelompok kecilnya terhuyung-huyung menuju Tewila.

Dua hari setelah tiba, seorang sepupu laki-laki--yang ia anggap sudah mati--juga muncul, terluka di kepala dan tidak dapat berbicara. Seorang pekerja bantuan di kamp tersebut mengonfirmasi kondisinya.

Pria lain menggambarkan bahwa ia meninggalkan El Fashir saat pertempuran berkecamuk, bergabung dengan warga sipil lain yang putus asa hingga kelompok itu berjumlah hampir 600 orang, termasuk anak-anak. Tentara RSF menembaki mereka di sepanjang jalan, katanya, menewaskan sedikitnya lima orang dan membubarkan kelompok itu.

Kemudian, ia menceritakan, seorang komandan RSF, "Mendekati kami dan menyuruh kami berteriak sekeras-kerasnya, 'Pasukan Dukungan Cepat ada di atas kami! Hemedti ada di atas kami!'" 

Lalu ia berkata kepada kami, "Kalian warga sipil, pergi!" Namun sebelum mereka sempat bergerak, kata pria itu, kendaraan lapis baja RSF mulai melaju ke arah mereka, menghancurkan semua orang yang ada di jalurnya.

Komandan itu terus mengulangi, 'Ini warga sipil, jangan bunuh mereka!" Akan tetapi mereka mengabaikan kata-katanya. 

Memberi air

Delapan belas orang tewas, kata pria itu, termasuk salah satu sepupu perempuannya. Sepupu lain terluka parah dan mereka harus meninggalkannya. Kelompok itu hanya berhasil berjalan sekitar 500 yard sebelum menjadi sasaran lagi.

"Ini budak. Mereka harus dibunuh," ia ingat ucapan para pejuang sebelum mereka melepaskan tembakan. Tujuh orang lain tewas, ia memperkirakan.

Ketika penembakan berhenti, kata pria itu, seorang tentara RSF memberi air kepada para penyintas dan menyuruh mereka berbalik karena masih ada lagi pembantaian di depan. Namun, kelompok itu terus maju, mencapai daerah yang dikenal sebagai Um Jalbakh, kubu pertahanan suku-suku Arab berafiliasi dengan RSF. 

Sebaliknya, banyak penduduk terakhir El Fashir yang tersisa berasal dari suku-suku Afrika yang berafiliasi dengan milisi yang mendukung militer.

Beraliran Arab

Dua puluh tahun yang lalu di Darfur, milisi yang sebagian besar beraliran Arab--cikal bakal RSF--memburu penduduk desa Afrika dari kelompok etnis yang sama dalam kampanye pembunuhan massal yang kemudian dikenal sebagai genosida. Para penyintas mengatakan hal itu terjadi lagi.

"Perempuan dan laki-laki Arab menyerang kami dengan menunggang kuda dan unta, mencambuk kami," kata pria itu. "Salah satu orang Arab menembak seorang pria dan istrinya. Pria itu berjalan bersama kami dan peluru mengenai perutnya. Dia berkata kepada kami, 'Tolong selamatkan istriku!' Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami hanya berdoa untuknya sebelum dia meninggal dan kami meninggalkan istrinya yang terluka."

Kelompok itu akhirnya diangkut ke dalam kendaraan oleh RSF, katanya, dan dibawa ke kamp Zamzam, yang menjadi rumah bagi hampir setengah juta orang sebelum para pejuang paramiliter merebutnya pada April, membantai warga sipil dan pekerja bantuan. Kelompok itu tiba ketika sekitar 20 orang sedang dieksekusi. 

Seorang anak laki-laki berusia sekitar 12 tahun, mengenakan seragam RSF, ialah yang pertama menembak. Pria itu mengatakan ia mulai berdoa ketika kelompok itu dibawa ke area bertanda Penjara.

"Mereka menyuruh kami untuk tetap di tempat dan besok pagi mereka akan membawa perangkat Starlink agar kami bisa menghubungi keluarga kami," untuk meminta tebusan, kenang pria itu. "Mereka mengancam akan membunuh siapa pun yang keluarganya tidak menjawab."

Awalnya, katanya, para militan menuntut US$28.000 dari setiap orang, jumlah yang sangat besar, tetapi kelompok itu berhasil menegosiasikan angka tersebut.

"Pagi hari, ketika perangkat itu tiba, saya menelepon keluarga saya," kata pria itu. Para militan menuntut US$14.000. 

"Jika tidak membayar, mereka akan membunuh saya saat itu juga," katanya kepada orang-orang yang dicintainya. Keluarganya mengirimkan uang tersebut dan ia dibebaskan. 

Empat orang lain tidak mampu membayar. "Saya tidak tahu apa yang terjadi pada mereka," katanya. (I-2)

Read Entire Article
Global Food