Refleksi Satu Tahun Asta Cita: Kebijakan Nasional Realisasi Komitmen Global Hasil Diplomasi

3 hours ago 1
 Kebijakan Nasional Realisasi Komitmen Global Hasil Diplomasi Pakar intelijen Ngasiman Djoyonegoro (kiri) memaparkan bahwa setiap negara harus selalu mengukur kekuatannya dengan instrument of power .(Ist)

HUKUM erat kaitannya dengan diplomasi dan politik. Pun sejumlah kebijakan nasional adalah realisasi dari komitmen global yang dihasilkan berkat diplomasi. 

Hal itu disampaikan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Maksum, di sela diskusi bertajuk Asta Cita Presiden Prabowo: Sketsa Diplomasi dan Pertahanan Nasional dalam Menghadapi Tatanan Dunia Baru, di Kampus UIN Jakarta, Rabu (29/10).

Diskusi Deep Talk Indonesia dalam memperingati satu tahun Asta Cita Presiden Prabowo bidang diplomasi dan pertahanan, itu digelar oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bersama Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Uama (PP ISNU) dan Lembaga Kajian Strategis PB IKA PMII.

“Hukum tidak bisa dipisahkan dari politik, yang di dalamnya ada diplomasi. Hukum adalah produk politik. Dalam buku yang ditulis oleh Dr Ngasiman Djoyonegoro ini banyak pelajaran yang dapat diambil,” kata Muhammad Maksum. 

Pakar intelijen Ngasiman selaku penulis buku Sketsa Diplomasi dan Pertahanan Nasional Dalam Menghadapi Tatanan Dunia Baru, menyampaikan bahwa setiap negara harus selalu mengukur kekuatannya dengan instrument of power, yaitu diplomasi, informasi, militer, dan ekonomi (DIME). “Kerangka inilah yang dapat kita gunakan untuk menganalisis buku ini,” katanya.

Simon, sapaan karib Ngasiman, menjelaskan buku yang merupakan bungai rampai itu memotret secara teliti dan mendalam fenomena yang berkembang. “Kami berharap buku ini dapat dijadikan acuan oleh pembuat kebijakan,” katanya. 

Menurut dia, sejak Prabowo dinyatakan sebagai presiden terpilih pada 2024 lalu, langkahnya terlihat terukur. Prabowo juga bisa melakukan lawatan dari Tiongkok dan Amerika dalam satu rangkaian waktu. 

Bahkan, Indonesia tergabung dalam BRICS+ sekaligus diterima oleh G7, meski kedua belah pihak tersebut sedang berseteru. “Presiden berhasil memainkan peran signifikan dan membuat nyata prinsip politik bebas aktif Indonesia,” ujar Simon. 

STRATEGI EPISTEMIK
Sekretaris Umum ISNU, Wardi Taufiq mengungkap bahwa pembahasan oleh pakar adalah salah satu agenda utama yang disasar oleh ISNU di tengah hingar bingar media sosial belakangan ini. 

“Di tengah matinya kepakaran, sulit membedakan antara pengetahuan dan opini, antara data dan prasangka. Kita berkewajiban membangun kepakaran tersebut dengan menghidupkan diskusi-diskusi bersama pakar seperti ini,” ucap Wardi. 

“Kita memang sama-sama punya komitmen untuk berkontribusi dalam kehidupan yang real. Asta Cita harus kita maknai sebagai strategi epistemik. Dalam konteks diplomasi kita berupaya agar Asta Cita dalam koridor bebas aktif. Dan forum seperti ini dapat kita jadikan bagian dari upaya mengantisipasi masa depan,” sambung dia. 

Di sisi lain, lingkungan strategis yang semakin tidak pasti dan tidak dapat diprediksi membuat para ilmuwan dunia merevisi teorinya. Dalam pandangan Abdul Wahid Maktub, pakar bidang diplomasi yang juga dosen President University, bahwa di era sekarang ini hal tersebut harus dibaca secara berbeda. 

“Tatanan dunia telah berubah, realitas telah berubah, tatanan dunia yang lama sudah tidak relevan lagi untuk diperbincangkan. Samuel P Huntington (ilmuwan politik Amerika) mengakui dan merevisi teorinya dari the clash of civilisation menjadi the alliance of civilisation,” katanya.

Menurut Abdul, negara-negara dunia banyak sekali melakukan kesalahan kalkulasi geopolitik. “Israel menyerang Hamas, secara kalkulasi militer itu hanya seminggu selesai. Nyatanya sampai dua tahun. Amerika juga mengalami hal yang sama ketika berhadapan dengan Cina, salah kalkulasi."

POLITIK BEBAS AKTIF
Ketidakpastian seperti ini, menurut pakar intelijen dan pertahanan nasional, Stepi Anriani, justru memberikan momentum bagi tumbuh kembangnya implementasi prinsip politik bebas aktif yang dianut oleh Indonesia. 

“Dunia kita sedang terbagi dalam great power, super power, dan regional power. Belum pernah dalam sejarahnya, Amerika sebegitu dibencinya dalam pergaulan internasional. Tapi, Presiden Prabowo dianggap sahabat oleh Presiden Trump," ucap dia. 

Prabowo, imbuhnya, sedang menunjukkan bagaimana politik bebas aktif dimainkan. “Di satu sektor bisa tidak sepakat, tapi di sektor lain kerja sama dengan baik. Misalnya dengan Cina, Indonesia berseteru di Laut Cina Selatan, tetapi akur dalam kerja sama ekonomi.  Ini yang sedang dimainkan oleh Presiden Prabowo,” tutur Stepi. 

Pakar lainnya, Atep Abdurofiq, pengajar hubungan internasional di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga menyoroti kapasitas Presiden Prabowo dalam memandu pertahanan nasional dari sisi geoekonomi. 

"Posisi sentral Indonesia dalam pemanfaata SDA (sumber daya alam) sangatlah penting. Bagaimana pengelolaan ini tidak menjadi kutukan. Indonesia sedang on the track dengan memanfaatkan daya tawar critical mineral dan hilirisasi,” terang Atep. 

Adapun anggota Komisi XI DPR RI Hasanuddin Wahid lebih mengkritisi penyeimbangan antara hard power, soft power dan smart power.  Indonesia secara hard power dinilai telah membangun industri pertahanan dan peningkatan alutsista. “Kita harus kasih kepercayaan penuh kepada institusi militer kita,” tukas Hasan. 

Secara soft power, diplomasi politik Presiden Prabowo memiliki pengalaman panjang dan tahu betul bagaimana memainkan peran di kancah global. “Pola interaksi yang dimainkan Presiden adalah pengalaman dijajah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hasan menyatakan bahwa apa yang telah dilakukan perlu diimbangi dengan pengembangan smart power. “Saat ini kita belum melakukannya secara terukur dan sistematis. Tanpa tiga hal ini, kita sulit untuk menjadi negara disegani.”

Pun dari sisi informasi, perlahan tapi pasti, Indonesia telah memimpin percepatan kualitas dunia digital dalam program-program transformasi digital. “Tak hanya terkait dengan aplikasi, tetapi juga penguatan SDM dan infrastruktur. Termasuk pengembangan kelembagaan pada TNI, Polri dan intelijen terkait perkembangan dunia siber,” tambah Simon. 

Sementara itu, Staf Ahli Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Bidang Keamanan Laut Laksamana Muda Dwi Sulaksono, mengatakan bahwa militer selalu berupaya untuk melindungi bangsa dan negara dengan segala kekuatan yang ada sehingga perlu diperkuat. 

Ia mengungkapkan bahwa Indonesia telah mempersiapkan pembelian dan pembaruan persenjataan secara konsisten, terutama kapal laut dan membangun integrasi sistem persenjataan TNI. “Kalau kita mau membangun perdamaian, kita harus siap perang. Inilah yang sedang dipersiapkan, dan kita membutuhkan input sebagaimana buku yang ditulis oleh Dr Ngasiman Djoyonegoro ini,” pungkas Dwi. (P-2)

Read Entire Article
Global Food