Kesepakatan KTT Perdamaian, Pengamat UI: Kekuatan Barat Cari Untung

9 hours ago 3
 Kekuatan Barat Cari Untung Kondisi di Gaza.(Al Jazeera)

PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan bahwa konflik antara Israel dan Hamas resmi berakhir. Pernyataan itu disampaikan usai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian Sharm El-Sheikh yang digelar di International Congress Centre, Republik Arab Mesir, Senin (13/10).

Menanggapi hal tersebut, pakar hubungan internasional Universitas Indonesia Prof Suzie Sudarman mengingatkan agar publik tidak terburu-buru melihat hasil KTT tersebut sebagai terobosan murni perdamaian. "Kita harus melangkah sambil berpikir dulu ya karena upaya negara-negara kuat untuk memprofit situasi di Gaza juga tidak terlampau kentara atau diakui dalam diskursus dunia," kata Prof Suzie dihubungi Media Indonesia, Selasa (14/10).

Kritik terhadap Agenda Perdamaian

Menurut Prof Suzie, kesepakatan di KTT tersebut tidak bisa dilepaskan dari kepentingan negara-negara Barat untuk mengatur ulang Gaza pascaperang.

"Saya lebih melihat upaya ini semua berkenaan dengan bagaimana cara kekuatan Barat memperoleh keuntungan atau memaksakan terwujudnya perdamaian antara dua aktor utama yang posisinya lebih lemah," ucapnya.

Dia menyoroti ada rencana besar yang dikenal sebagai konsep Gaza Riviera. "Ada isu Gaza Riviera yang harus kita jabarkan dulu untuk bisa memahami," sebut Prof Suzie.

Proyek Rekonstruksi dan Kepentingan Ekonomi

Prof Suzie memaparkan bahwa rekonstruksi Gaza diproyeksikan sebagai proyek investasi besar pascakonflik.

"Malah di Februari, Washington Post mengabarkan rancangan detail termasuk relokasi secara sukarela 2 juta rakyat Palestina," ujarnya.

Dia menjelaskan bahwa Gaza direncanakan berada di bawah pengawasan Amerika Serikat sebagai pemelihara keterlibatan investor global.

"Skema ini membayangkan akan tersedia US$70 miliar-US$100 miliar dana publik yang akan memicu US$35 miliar-US$65 miliar investasi kalangan swasta untuk membangun real estat, resor, atau tempat berlibur dan pusat data," katanya.

Dalam proyeksi sepuluh tahun, keuntungan diperkirakan mencapai US$385 miliar dengan pendapatan dari perserikatan lebih dari US$4,5 miliar.

Menurut Ketua Pusat Studi Amerika UI itu, Amerika Serikat juga akan meraih manfaat strategis dari proyek tersebut, seperti kehadiran yang lebih kuat di kawasan Mediterania Timur, akses ke sumber daya mineral tanah jarang senilai US$1,3 triliun di Kawasan Teluk, dan percepatan koridor ekonomi India-Timur Tengah-Eropa (IMEC).

Tudingan Neokolonialisme

Suzie menambahkan bahwa sejumlah kritik menilai rencana tersebut sebagai bentuk kolonialisme gaya baru.

"Yang mengkritik rancangan ini membahas soal penghancuran Gaza yang menjadi bagian rencana bangsa barat untuk menyelenggarakan upaya neokolonialisme," ujarnya.

Dia juga mengutip peringatan para ahli hukum yang menilai keterlibatan investor dalam proyek itu berpotensi menimbulkan masalah hukum di Mahkamah Internasional, terutama terkait isu genosida dan perampasan tanah.

Menurut Prof Suzie, cetak biru proyek tersebut disusun oleh Boston Consulting Group (BCG) dan Tony Blair Institute (TBI). "Blair juga direncanakan akan duduk di Board of Peace sekalipun hal ini ditolak oleh Hamas," ucapnya.

Blair disebut berkoordinasi dengan Jared Kushner dan Steve Witkoff, utusan Timur Tengah pemerintahan Trump. Sejak 2021, TBI disebut menerima donasi dari Larry Ellison, sekutu Trump yang dikenal pro-Zionis.

"Blair juga menjadi partisipan Konferensi Gaza 13 Oktober di Mesir di samping Presiden Trump dan Keir Starmer," tambahnya.

Posisi Indonesia di Forum Perdamaian

Prof Suzie juga menyinggung kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam KTT tersebut. Menurutnya, keberadaan Indonesia memberi legitimasi politik pada dinamika yang berlangsung.

"Sebagai negara Asia satu-satunya yang berpengalaman terlibat dalam pasukan perdamaian di banyak negara di dunia, Indonesia menjadi kalangan yang sanggup memberikan keabsahan pada hal-hal yang mungkin diragukan masyarakat internasional," jelasnya.

Dia menilai kehadiran Indonesia juga dapat menutupi persepsi negatif terhadap kedekatan negara-negara kawasan dengan Israel dan AS.

"Sebagai modal soal persekutuan yang nyata antara kebanyakan negara-negara kawasan dengan Israel dan AS yang diharapkan bisa dengan mudah tersembunyi oleh hadirnya negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yaitu Indonesia," paparnya.

Prof Suzie menilai Presiden Prabowo mungkin juga ingin membuka peluang kontribusi pasukan perdamaian Indonesia serta memperluas jaringan diplomasi.

"Mungkin juga Presiden Prabowo menginginkan keterlibatan pasukan perdamaian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita konstitusi Indonesia. Di samping itu tentu ingin berkenalan lebih akrab dengan para partisipan upaya perdamaian ini yang diharapkan Presiden tentu bisa membantu menyejahterakan rakyat Indonesia," pungkasnya. (I-2)

Read Entire Article
Global Food