MI/Seno(Dok. Pribadi)
DI tengah semangat menuju Indonesia emas 2045, masih banyak wilayah yang menghadapi tantangan mendasar dalam pembangunan manusia. Salah satunya adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Daerah yang indah, tapi dihantui fakta pahit: lebih dari 42% anak balita mengalami stunting.
Data Dinas Kesehatan TTS per Juli 2025 mencatat 12.157 balita dengan pertumbuhan tubuh dan otak yang terhambat. Bahkan, di Kecamatan Amanuban Barat, prevalensinya mencapai 55% dan di Desa Nusa 54,7%. Angka itu bukan sekadar statistik, ia adalah wajah generasi yang terancam kehilangan masa depan terbaiknya.
Stunting bukan sekadar tubuh pendek. Ia merupakan cermin dari kemiskinan multidimensi yang melukiskan kondisi ketika gizi, pendidikan, sanitasi, dan dukungan sosial tidak terpenuhi secara bersamaan. Anak-anak yang mengalami stunting berisiko memiliki tingkat kecerdasan lebih rendah, kesehatan rentan, dan produktivitas menurun di masa depan.
Dengan kata lain, stunting ialah kemiskinan yang diwariskan secara biologis. Karena itu, upaya menghapus stunting sesungguhnya adalah upaya memutus rantai kemiskinan lintas generasi. Inilah tantangan yang menuntut intervensi bukan hanya medis, melainkan juga sosial, ekonomi, pendidikan, dan budaya.
PROGRAM PENGHAPUSAN KEMISKINAN DAN PENURUNAN RISIKO STUNTING DI NTT
Menjawab tantangan itu, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengambil langkah konkret melalui program penghapusan kemiskinan dan penurunan risiko stunting di Nusa Tenggara Timur. UMM menggerakkan 25 program lintas disiplin dengan total anggaran mencapai Rp770,5 juta, melibatkan para profesor, dosen, dan peneliti dari berbagai bidang ilmu. Program ini tidak berdiri di atas wacana, tetapi bergerak langsung di tengah masyarakat.
Di bidang kesehatan, UMM menghadirkan empat program unggulan yang menjadi tonggak inovasi dalam penanggulangan stunting berbasis keluarga dan pemberdayaan perempuan. Program-program tersebut meliputi psychometric properties of parenting self-efficacy for reducing stunting, gerakan ibu tangguh: meningkatkan keyakinan diri dan manfaat pengasuhan dalam pencegahan stunting, implementasi program parenting komprehensif dalam meningkatkan kapasitas pengasuhan dan gizi anak balita, serta pengaruh gerakan ibu tangguh terhadap self-efficacy dan perceived benefit pengasuhan anak dalam pencegahan stunting.
Keempatnya dirancang untuk menyasar tiga klaster utama, yaitu kader kesehatan, ayah dari balita stunting, dan ibu balita stunting. Pendekatan ini memungkinkan intervensi yang lebih menyeluruh, berlapis, dan berkelanjutan karena menyentuh seluruh elemen penting dalam sistem pengasuhan anak. Dengan melibatkan berbagai pihak di tingkat keluarga dan komunitas, program ini tidak hanya fokus pada aspek medis dan gizi, tetapi juga pada penguatan kapasitas psikologis dan sosial dalam mencegah stunting.
Pendekatan ketahanan pangan berbasis kearifan lokal menjadi salah satu pilar utama dalam strategi UMM untuk menanggulangi stunting dan kemiskinan di NTT. Melalui berbagai riset terapan dan program pemberdayaan, para peneliti UMM mengembangkan inovasi yang sesuai dengan karakteristik wilayah setempat yang didominasi lahan kering.
Bidang pemberdayaan ekonomi dan kewirausahaan menjadi salah satu aspek penting dalam strategi UMM untuk menekan angka stunting sekaligus mengatasi kemiskinan di NTT. Melalui berbagai program seperti pendampingan inovasi koperasi melalui penguatan mindset kewirausahaan untuk pengembangan bisnis produk olahan pangan, serta pelatihan dan pendampingan manajemen kewirausahaan.
Upaya penanggulangan stunting di NTT tidak hanya bergantung pada intervensi gizi dan edukasi kesehatan, tetapi juga pada pembangunan infrastruktur dasar yang menopang kehidupan masyarakat. Para peneliti UMM menyoroti pentingnya akses air bersih dan jaringan jalan yang memadai dalam memperkuat kesejahteraan masyarakat.
Akses air bersih memungkinkan peningkatan kualitas gizi keluarga, sementara jalan desa yang baik memperlancar distribusi pangan, memperluas pasar hasil pertanian, dan membuka akses terhadap layanan kesehatan. Kombinasi antara pembangunan infrastruktur, inovasi ekonomi, dan penguatan lingkungan ini menjadi fondasi dari model pemberdayaan masyarakat yang holistik dan berkelanjutan, dalam menjawab persoalan gizi tidak hanya dari dapur, tetapi juga dari fondasi pembangunan desa.
Fakta lapangan di Desa Nusa, Kecamatan Amanuban Barat, Kabupaten Timor Tengah Selatan, memperlihatkan bagaimana teori dan kebijakan tersebut diterjemahkan dalam tindakan nyata. Pemerintah desa berhasil membangun sumur bor sedalam 71 meter dengan biaya sekitar Rp143 juta melalui pemanfaatan dana desa. Sumur ini mampu mengaliri air bersih bagi sekitar 200 kepala keluarga. Ketersediaan air menjadi penentu utama dalam menciptakan ketahanan nutrisi di tingkat rumah tangga karena membuka peluang bagi warga untuk menanam sayuran, buah-buahan, dan beternak unggas di sekitar rumah mereka.
Lebih dari sekadar penyediaan air, inisiatif di Desa Nusa itu mencerminkan transformasi sosial berbasis kemandirian lokal. Air bersih tidak hanya mengubah pola konsumsi masyarakat, tetapi juga menghidupkan kembali semangat ekonomi desa. Warga kini mampu mengembangkan usaha mikro seperti penjualan hasil kebun, produksi telur ayam, dan olahan pangan bergizi.
Dengan sumber daya yang dikelola secara mandiri, masyarakat tidak lagi sekadar penerima bantuan, tetapi menjadi pelaku utama pembangunan. Dari titik air di Desa Nusa, mengalir pula harapan baru bahwa penurunan stunting bukan semata urusan gizi, melainkan juga buah dari kolaborasi antara pengetahuan, kebijakan, dan keberdayaan masyarakat desa.
Dari program itu, jelas terlihat wajah baru dari pendidikan tinggi Indonesia: profesor penggerak pembangunan masyarakat. Mereka bukan hanya pencetak jurnal ilmiah, melainkan juga pencipta perubahan sosial. Mereka menghidupkan kembali makna Tri Darma Perguruan Tinggi dengan turun langsung ke lapangan, berdialog dengan petani, guru, ibu rumah tangga, dan kader posyandu.
Dalam konteks ini, peran profesor bukan lagi sekadar simbol akademik tertinggi, melainkan motor penggerak perubahan sosial. Mereka menjadi jembatan antara ilmu dan nurani, antara kampus dan rakyat. Inilah makna sejati dari 'ilmuwan yang membumi'.
Dalam tradisi akademik, profesor adalah gelar tertinggi bagi seorang dosen atau dengan kata lain puncak pencapaian dalam dunia pendidikan tinggi. Menurut University of Leeds, profesor merupakan individu yang telah mencapai jenjang akademik tertinggi melalui dedikasi, penelitian, dan kontribusi ilmiah yang diakui secara luas. Tersimpan tanggung jawab moral yang besar: bagaimana ilmu yang dimiliki tidak berhenti di ruang kuliah, tetapi menghidupkan kehidupan, menjawab tantangan masyarakat, dan memperbaiki peradaban.
Program UMM di NTT juga menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dapat menjadi gerakan kemanusiaan. Pendekatan multidisipliner yang melibatkan kesehatan, pertanian, ekonomi, dan teknologi menciptakan model intervensi yang menyeluruh. Pendekatan ini sekaligus menegaskan bahwa penurunan stunting tidak bisa diserahkan hanya pada sektor kesehatan; ia harus menjadi gerakan sosial terpadu.
Dari perspektif moral, stunting adalah pengingat bahwa pembangunan sejati tidak hanya diukur dari infrastruktur, tetapi dari sejauh mana kita menjaga tumbuh kembang anak bangsa. Jika separuh anak di satu kabupaten masih kekurangan gizi, cita-cita Indonesia emas 2045 akan kehilangan fondasinya.
Gerakan UMM di NTT sesungguhnya lebih dari sekadar proyek pengabdian; ia adalah simbol bahwa kampus bisa menjadi garda depan perubahan sosial. Di tengah situasi global yang semakin menuntut relevansi ilmu, UMM menunjukkan bahwa perguruan tinggi Islam dapat memadukan keilmuan modern dengan nilai-nilai kemanusiaan, spiritualitas, dan empati sosial.
WUJUD KONKRET DARI CITA-CITA KAMPUS BERDAMPAK
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti-Saintek) kini tengah mendorong paradigma baru dalam dunia pendidikan tinggi melalui kebijakan 'kampus berdampak' yang memaknai sebuah gerakan untuk mengubah cara pandang kampus dari sekadar pusat ilmu menjadi motor perubahan sosial. Melalui program ini, perguruan tinggi diharapkan tidak hanya menghasilkan publikasi dan lulusan, tapi juga menghadirkan solusi nyata bagi persoalan bangsa, mulai dari kemiskinan, ketahanan pangan, literasi, hingga stunting yang masih menjadi ancaman serius di berbagai daerah Indonesia. Kebijakan ini menjadi tonggak penting bagi transformasi peran universitas sebagai agen pembangunan yang mampu menggabungkan kekuatan riset, inovasi, dan empati sosial dalam satu gerak terpadu.
Konsep kampus berdampak menghidupkan kembali semangat Tri Darma Perguruan Tinggi dalam makna yang lebih aplikatif. Mahasiswa dan dosen didorong untuk tidak hanya belajar dan meneliti, tetapi juga terlibat langsung di tengah masyarakat, memecahkan persoalan riil melalui riset terapan, pemberdayaan ekonomi, dan teknologi berbasis lokal. Melalui program seperti mahasiswa berdampak dan kosabangsa, Kemendikti-Saintek membuka ruang luas bagi kampus untuk berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan komunitas setempat dalam menciptakan dampak sosial yang terukur. Tujuan akhirnya jelas: menjadikan kampus sebagai pusat solusi bagi kemajuan bangsa, bukan sekadar menara gading yang jauh dari realitas masyarakat.
Kehadiran tim UMM di NTT ini merupakan dukungan pada istilah kampus berdampak tersebut. Itulah sebabnya Wakil Mendikti-Saintek Prof Dr Fauzan, MPd mengapresiasinya sebagai program yang in line dengan kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurutnya, kampus tidak boleh berhenti pada tataran teori, tetapi harus menjadi kekuatan yang bertanggung jawab terhadap persoalan sosial di masyarakat. “Ilmu yang tidak kembali kepada rakyat hanyalah wacana,” tegasnya.
Bagi Prof Fauzan, gerakan seperti yang dilakukan UMM di NTT adalah wujud konkret dari cita-cita kampus berdampak: mengubah ilmu menjadi amal, mengubah penelitian menjadi pemberdayaan, dan mengubah mahasiswa menjadi agen perubahan sosial.
Apresiasi dari Prof Fauzan juga memiliki makna simbolis yang dalam. Sebagai sosok yang pernah menjabat rektor UMM, ia memahami betul filosofi kampus putih yang menekankan integrasi antara ilmu, iman, dan amal. Karena itu, ketika UMM bergerak ke NTT untuk mengatasi stunting, memperkuat pangan keluarga, dan membangun ketahanan ekonomi lokal, ia melihat bukan sekadar proyek kampus, melainkan juga gerakan kemanusiaan yang selaras dengan arah kebijakan negara.
Apa yang dilakukan UMM di tanah Timor sejatinya menggambarkan arah baru pendidikan tinggi Indonesia: dari kampus yang hanya mendidik menuju kampus yang menyejahterakan. Air bersih yang mengalir dari sumur bor di Desa Nusa, kebun sayur dan peternakan kecil di halaman rumah warga, hingga kelompok ibu-ibu tangguh yang belajar pengasuhan dan gizi, semua menjadi bukti bahwa ilmu pengetahuan yang turun ke bumi dapat menumbuhkan harapan baru di pelosok negeri.
Inilah esensi kampus berdampak dengan profesor sebagai penggerak menjadikan universitas bukan sekadar tempat belajar, melainkan juga ruang hidup bagi perubahan. Melalui langkah-langkah seperti yang dilakukan UMM di NTT, Indonesia sedang menyaksikan lahirnya babak baru perguruan tinggi yang benar-benar hadir di hati masyarakat dengan kampus yang berpikir global, tapi bekerja untuk rakyat.
Dari kampus di Malang hingga desa-desa di Timor, para profesor penggerak itu membuktikan bahwa pengetahuan sejati bukanlah yang berhenti di menara gading, tetapi yang berani turun ke lumpur kehidupan karena pembangunan bangsa tidak dimulai dari gedung tinggi atau anggaran besar, tetapi dari anak yang tumbuh sehat, ibu yang berdaya, dan masyarakat yang percaya pada kemampuannya sendiri.
Di ujung timur Indonesia, di ladang-ladang kering NTT, ilmu pengetahuan kini sedang tumbuh bersama harapan. Dari sana, Indonesia belajar satu hal penting: bahwa ilmu yang berpihak pada kemanusiaan ialah bentuk tertinggi dari ibadah dan pengabdian.

4 hours ago
1
















































