Hasil Survei: Gen Z Terbanyak Gunakan AI

3 hours ago 1
 Gen Z Terbanyak Gunakan AI Ilustrasi(Dok Freepik)

GENERASI Z (Gen Z), tercatat mendominasi pemanfaatan Akal Imitasi atau Artificial Intelligence (AI) dalam keseharian, bahkan untuk mengerjakan tugas sekolah atau kuliah.

AI juga dimanfaatkan untuk mencari ide kreatif, hingga sekadar mengobrol. Hasil survei yang dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2025 mengungkap bahwa generasi Z menempati urutan teratas dalam memanfaatkan AI yaitu sebesar 43,7%, disusul dengan generasi Milenial sebesar 22,3%. 

Angka tersebut menunjukkan bahwa AI telah menjadi bagian tersendiri bagi generasi muda di Indonesia. Namun di balik kemudahan yang ditawarkan AI, ada kekhawatiran terhadap dampak yang ditimbulkan akibat penggunaan AI yang kian masif. 

Guru Besar UGM dan Pemerhati Rekayasa Perangkat Lunak, Prof. Ridi Ferdiana, menilai meningkatnya penggunaan AI di kalangan anak muda merupakan suatu keniscayaan bagi generasi yang tumbuh di lingkungan digital tersebut. Menurutnya, salah satu bentuk disrupsi terbesar bukan hanya kemunculan AI secara umum, melainkan hadirnya generative AI yang mengubah cara berpikir generasi muda. 

“Generasi Z itu lahir sebagai digital native, sudah dimanjakan teknologi sejak kecil. Generative AI sekarang menjadi bentuk disrupsi terbesar yang mengubah cara berpikir dan hidup mereka,” ujarnya ketika diwawancarai, Rabu (5/11). 

Ridi memperkirakan, ke depannya pengguna AI di kalangan anak muda terus meningkat, terlebih kombinasi antara generasi Milenial dan generasi Z yang disebut masuk kedalam 77% pengguna aktif AI. Ia memberi contoh bahwa di lingkungan UGM dari total 60.000 mahasiswa, sebanyak 45.000 di antaranya telah menggunakan AI dalam aktivitas keseharian maupun dalam aktivitas akademik. 

“Misal katakanlah UGM, dari 60 ribu mahasiswa, kira-kira 45 ribu sudah memakai teknologi ini. Saya perkirakan pada tahun 2030, adopsinya bisa mencapai 100%,” ujarnya.

Dikatakannya, penggunaan AI dari sisi positif dapat memberi perubahan bagi cara belajar dan mengembangkan kreativitas generasi muda. Terlebih adanya teknologi generative AI yang dapat menjadi teman belajar dalam memahami konsep, bukan sekadar memberi jawaban instan. 

“Contohnya pada Gemini AI yang memiliki fitur guided learning yang akan mengajari kita dan melakukan deep research, sehingga membantu kita menganalisis jawaban lebih dalam. Tidak sebatas menerima jawaban mentah-mentah,” jelasnya. 

Dampak Penggunaan AI

Meski demikian penggunaan AI secara berlebih tanpa adanya verifikasi dalam menerima informasi dapat memberikan ketergantungan, ia menyebut fenomena ini sebagai DDA atau ‘dikit-dikit AI’. 

Banyak anak muda sekarang yang menggunakan AI di segala aktivitasnya, sehingga berdampak pada fenomena underload yang membuat berkurangnya kemampuan otak dalam berpikir. Hal ini dapat beresiko pada penurunan kemampuan berpikir kritis, daya ingat, serta terjadi efek brain rot karena otak jarang diasah. 

“Jadi critical thinking dan aspek memorize menurun, makanya yang paling gawat terjadi efek brain root terjadi karena malas mikir dan dikit-dikit jadi tanya ke AI,” ungkapnya. 

Sudut Pandang Tiap Generasi terhadap AI

Setiap generasi, imbuhnya memiliki pola adaptasi yang berbeda dalam menghadapi teknologi, khususnya pada perkembangan AI saat ini. Ia menyebut, generasi X  dan baby boomers sebagai digital immigrant yang belum memiliki kapasitas menyeluruh dalam mengadaptasi AI serta cenderung memandang bahwa AI hanya sebatas pada alat bantu kerja. 

Sementara itu, bagi generasi Z memandang AI sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari. 

Di sisi lain, generasi milenial berada di posisi tengah yang hampir mirip dengan generasi Z, tetapi seperempat hidupnya dijalankan menggunakan bantuan teknologi. 

“Generasi X dan baby boomers saat ini bukan ada di tahap produktif lagi, melainkan ada di tahap lebih banyak bersosialisasi dan berempati. Sehingga penggunaan AI hanya sebatas tools saja seperti halnya Microsoft Word atau Excel, namun bagi generasi Z dan Millennial, hal ini sudah menjadi disruption yang mengubah kehidupan,” jelasnya. 

Ia menyebut, perkembangan teknologi AI telah menyebabkan adanya pergeseran perilaku antargenerasi. Saat ini generasi muda sudah tidak lagi mengandalkan search engine untuk menemukan jawaban, melainkan banyak yang beralih pada AI. Hal ini tidak hanya sebatas pada adanya pergeseran teknologi, tapi sudah mengalami pergeseran budaya yang mengubah cara generasi muda dalam menjalankan aktivitasnya. 

Bijak Memanfaatkan AI

Dia mengatakan lagi, perlunya sikap bijak dalam menggunakan AI agar tidak sepenuhnya dikendalikan oleh teknologi. Untu itu, ia kemudian memperkenalkan konsep ERA, singkatan dari Essential, Rating dan Applicable yang merupakan tiga prinsip penting sebagai pedoman etika dan literasi digital generasi muda. 

"Tiga konsep ERA ini mencakup Essential yang menekankan dalam mencari pengetahuan dasar harus tetap menggunakan buku sebagai sumber acuan ilmiah, bukan langsung menggunakan AI", katanya. 

Selanjutnya ada Rating yaitu perlunya berpikir secara kritis dalam mempertimbangkan keputusan, baru memanfaatkan AI untuk bertanya tentang opini dari keputusan tersebut. Hal ini diperlukan demi menjaga kemampuan analisis dan memilah keputusan dari diri sendiri. 

Lalu terakhir Applicable yang memanfaatkan AI sebagai alat bantu dalam memperbaiki dan menyelesaikan tugas, namun dengan catatan bahwa tahapan Esensial dan Rating sudah dipahami dengan baik. 

Dengan memanfaatkan ketiga pendekatan ini, Ridi berharap AI dapat digunakan secara bijak, sehingga generasi muda dapat tetap menjaga kemampuan berpikir kritis di era gempuran teknologi digital saat ini. 

“Dari situ kita menjadikan generative AI sebatas partner kita, bukan menggantikan peran kita untuk menyelesaikan permasalahan secara penuh. Itulah mengapa pentingnya penerapan konsep ERA ini di dunia digital seperti saat ini,” katanya. (AU/E-4)

Read Entire Article
Global Food