Alternating Family dan Perkembangan Keluarga Generasi Z

3 weeks ago 20
Alternating Family dan Perkembangan Keluarga Generasi Z (Dok. Pribadi)

PERKEMBANGAN internet dan media sosial saat ini telah memunculkan era kontemporer yang merupakan era penuh dengan perubahan sosial budaya dan tantangan baru. Perkembangan era kontemporer ini adalah sebuah keniscayaan, dan bahkan tak terelakkan. Perubahan sosial budaya yang dihela oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini telah menghadirkan generasi baru yakni generasi Z.

Jika selama ini generasi Z banyak disorot dan diperbincangkan berkaitan dengan perilaku leisure and pleasure mereka, maka yang hampir tidak pernah dipikirkan ialah bagaimana generasi Z ini ketika mereka berkeluarga? Kelak mereka juga membina keluarga, berinteraksi, dan berkomunikasi selayaknya menjadi sebuah keluarga, di mana ada istri, suami, dan anak. Makin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi membawa berbagai konsekuensi di seluruh bidang, termasuk dalam level keluarga yang dibangun oleh generasi Z.

Generasi Z adalah kelompok generasi yang mengedepankan kebebasan, keamanan dan kenyamanan hidup, serta kebahagiaan. Ketika mereka berkeluarga dan membina keluarga, maka generasi Z dengan karakteristiknya tentu tidaklah sama dan tidak bisa diprediksi sama dengan generasi-generasi sebelumnya. Mereka ini hampir bisa dipastikan mempunyai strategi dan cara tersendiri dalam mengembangkan keluarga di masa depan.

ALTERNATING FAMILY

Selama ini, praktik pembangunan keluarga melalui intervensi ketahanan dan kesejahteraan yang dilakukan lebih bersifat kuantitatif, sehingga sulit untuk memperoleh gambaran yang holistik tentang keluarga. Padahal, pembangunan keluarga di Indonesia perlu memperhatikan perkembangan sosial budaya masyarakat, termasuk kehadiran generasi Z.

Hadirnya generasi Z, dengan karakteristik mereka yang khas, menyebabkan kompleksitas masalah keluarga tidak hanya menjadi tantangan di era masyarakat kontemporer, tetapi juga memerlukan cara pandang baru yang lebih konstekstual dan kerangka konseptual yang dapat digunakan untuk membangun keluarga berkualitas di Indonesia. Oleh karena itu, gagasan kritis dalam sosiologi keluarga memiliki urgensi dalam membangun keluarga berkualitas di Indonesia pada era masyarakat kontemporer ini.

Generasi Z memiliki karakteristik yang khas dan mengidealkan kehidupan yang setara. Generasi Z menentang patriarki yang sebenarnya tidak relevan dengan karakteristik mereka. Banyak di antara mereka yang lebih banyak mengacu bahkan mengadopsi cara-cara dalam media sosial ketika memahami perkawinan, keluarga, pasangan hidup, cita-cita, harapan, dan masa depan mereka. Bagi mereka, kesetaraan adalah hal yang penting untuk dipraktikkan dalam keluarga, di mana hubungan suami istri memberikan penekanan kuat pada keadilan sosial, kesetaraan gender, dan inklusivitas.

Oleh karena itu, dalam pembangunan keluarga di era masyarakat kontemporer, perlu konsep yang relevan, transformatif, dan kontekstual untuk mewujudkan keluarga berkualitas. Alternating family

 merupakan konsep baru yang mengkritisi hubungan, peran, dan fungsi keluarga dalam masyarakat konvensional yang bersifat kurang dinamis, bahkan cenderung monoton.

Alternating family bukanlah hanya equal partner, melainkan lebih mendalam dari itu, yaitu meliputi aspek batin hubungan dalam keluarga (kebahagiaan, kepuasan, ketenteraman, dan kemandirian) serta keberhargaan sosial. Sejatinya, sebuah keluarga di mana setiap individu di dalamnya memiliki peran yang setara dan mempunyai hak yang sama, dapat mengembangkan potensi yang dimiliki. Tidak ada yang berposisi dominan dan pengambilan keputusan didiskusikan bersama.

Alternating family merupakan bentuk keluarga yang lebih relevan dan kontekstual bagi generasi Z di era masyarakat kontemporer. Generasi Z identik dengan kehidupan yang cair, memiliki karakter yang lebih terbuka, dan mendambakan kenyamanan hidup.

Generasi Z menginginkan kesetaraan dalam keluarga, di mana hubungan antara suami istri dan anak tidak lagi kaku, tapi cair (liquid). Seperti yang dikemukakan oleh Bauman (2013) bahwa liquid life merupakan salah satu gejala dalam liquid modernity. Modernitas yang masuk melalui internet dan media sosial akan mengubah wacana dan memengaruhi mereka dalam memandang keluarga dan orientasi pembentukan keluarga, mengubah pola pikir yang tidak tunggal dan menjadikan generasi Z mampu mengembangkan alternatif-alternatif lain untuk menghadapi situasi.

Akibatnya, dalam modernitas cair, peran anggota dalam keluarga menjadi liquid. Hubungan antaranggota keluarga tidak lagi rigid, yang lebih banyak ditentukan oleh norma-norma yang disepakati, melainkan liquid. Hubungan yang terbangun lebih dinamis, elastis, dan lebih cair ini akan mampu memperkokoh ikatan sosial dan meningkatkan kualitas hubungan yang mengarah pada ketenteraman, kebahagiaan, dan kemandirian yang menjadi dimensi pembangunan keluarga.

Hubungan dalam keluarga yang liquid dengan demikian akan meniadakan kekerasan, dominasi, dan penindasan. Keluarga akan bahagia jika kebutuhan afeksi, makna, dan kepuasan hidup di antara anggota keluarga dapat terpenuhi.

Kemandirian juga dapat terwujud jika suami istri dan anggota keluarga memiliki akses, peluang, dan kesempatan yang sama. Dengan demikian, alternating family memiliki urgensi dalam mewujudkan keluarga berkualitas. Hal ini akan mendukung pencapaian Sustanainable Development Goals (SDGs) ketiga yaitu good health and well-being (kehidupan sehat dan sejahtera) dan SDGs kelima yakni gender equality (kesetaraan gender).

Alternating family bukan sekadar gagasan teoretis, tapi juga secara praktis dapat diimplementasikan dalam pembangunan keluarga menuju keluarga berkualitas. Hal ini menjadi salah satu modal dalam pembangunan keluarga untuk menciptakan generasi yang berkarakter kuat, unggul, inovatif, mandiri, mampu menjadi pemimpin yang baik, dan memiliki daya saing tinggi dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.

TRANSFORMASI KELUARGA

Bagi masyarakat Indonesia, kita menyadari bahwa perubahan keluarga merupakan proses tak terelakkan. Perubahan zaman dan munculnya generasi Z, Alpha, Beta, dan Gamma menuntut adanya transformasi keluarga dengan cara pandang baru yang relevan dan kontekstual, yang mampu menjawab tantangan zaman. Akan tetapi, harus diakui bahwa bukanlah hal yang mudah untuk dapat memastikan arah transformasi keluarga supaya bisa berjalan berdasarkan koridor yang diharapkan.

Transformasi menuju pembangunan keluarga berkualitas membutuhkan fondasi keluarga yang kuat dalam membentuk generasi yang tangguh, unggul, dan berdaya saing tinggi. Keluarga yang akan dibangun di masa depan terdiri dari istri, suami, dan anak yang merupakan bagian dari generasi Z, bahkan anak-anak mereka nantinya jauh melampaui generasi Z. Konsep yang lebih jelas dan komprehensif memiliki urgensi dalam mencapai keluarga yang mandiri, tenteram, dan bahagia.

Alternating family mengarah pada peran dan hubungan keluarga yang dinamis dan semakin liquid, sehingga sangat relevan dengan karakteristik generasi Z, Alpha, Beta, Gamma, dan generasi selanjutnya yang lahir saat dunia telah terhubung secara digital.

Lebih dari sekadar persoalan perkawinan anak di bawah umur, kekerasan dalam rumah tangga, stunting, kehamilan di luar pernikahan, seks bebas, bullying, kenakalan anak dan remaja, ke depan persoalan yang dihadapi keluarga dari kalangan generasi Z niscaya akan jauh lebih kompleks dan membutuhkan pendekatan dan acuan teoretis dalam perspektif sosiologi keluarga yang lebih kontekstual.

Read Entire Article
Global Food