Foto udara area replanting kelapa sawit, atau peremajaan kebun sawit dan kebun sawit produktif di perkebunan kelapa sawit Sumatra Utara, Senin, (21/4/2025).(MI/RAMDANI)
ADA ancaman besar terhadap stabilitas industri sawit nasional jika pengelolaan lahan sawit sitaan tidak segera dilakukan secara profesional. Pengelolaan yang tidak berbasis tenaga ahli dapat menimbulkan kerugian negara mencapai Rp105 triliun per tahun, angka yang jauh lebih besar dibandingkan estimasi lembaga lain yang sempat dilansir di berbagai media nasional.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia (Gaperkasindo) M Hasyari Nasution memperingatkan itu. "Situasi ini sangat mengkhawatirkan. Jika tidak segera ditangani dengan pendekatan profesional dan berbasis keahlian, negara bisa kehilangan ratusan triliun rupiah setiap tahun," tegas Hasyari dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (5/11).
Dari total 3,2 juta hektare lahan sawit yang diambil alih karena pelanggaran hukum, sekitar 1,5 juta hektare di antaranya kini dikelola PT Agrinas Palma Nusantara. Namun lemahnya sistem pengamanan di lapangan, perusakan aset oleh massa, dan ketiadaan manajemen profesional berpotensi menurunkan produksi crude palm oil (CPO) hingga 6,4 juta-7,5 juta ton per tahun. Dengan harga pasar rata-rata Rp13 juta-Rp14 juta per ton, potensi kehilangan nilai ekonomi mencapai Rp80,5 triliun-Rp105 triliun per tahun.
Hasyari yang juga menjabat Ketua Koperasi Fanantara menegaskan bahwa kerugian itu belum termasuk dampak lanjutan seperti meningkatnya pengangguran, menurunnya daya beli masyarakat, menurunnya penerimaan pajak, hingga berkurangnya devisa ekspor. "Jika pasokan CPO menurun, harga minyak goreng dan biodiesel di dalam negeri akan naik. Ini bisa mengganggu stabilitas ekonomi nasional saat ini dan ke depan," ujarnya.
Menyikapi hal ini, Hasyari mengaku melayangkan surat kepada Presiden Republik Indonesia dan Ketua Dewan Pembina Formas Hashim Djojohadikusumo yang menaungi organisasinya. "Kami memandang bahwa isu ini layak mendapatkan perhatian Presiden untuk memastikan pengelolaan lahan sitaan ini berhasil dan berkelanjutan," paparnya.
Dalam kajian internalnya, Gaperkasindo menemukan perbedaan signifikan antara angka potensi kerugian negara yang disampaikan oleh sejumlah lembaga dan hasil perhitungan yang dilakukan berdasarkan data lapangan oleh pihaknya. Perbedaan itu terjadi karena sebagian lembaga hanya menghitung kehilangan aset fisik dan nilai produksi jangka pendek, tanpa memperhitungkan efek lanjutan terhadap rantai ekonomi sawit.
Pihaknya menghitung kerugian secara komprehensif, mencakup kehilangan hasil produksi, penurunan kualitas tandan buah segar (TBS), kerusakan infrastruktur kebun, serta dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat sekitar. Dengan produktivitas rata-rata 3,8-4 ton CPO per hektare per tahun dan fluktuasi harga pasar, nilai kerugian ekonomi bisa mencapai lebih dari Rp100 triliun per tahun, terutama bila lahan tidak segera diremajakan dan dikelola dengan sistem keamanan terpadu.
Dari hasil monitoring di sejumlah wilayah perkebunan sitaan, ditemukan pula bahwa sebagian besar lahan dalam kondisi kurang terawat, menurun produktivitasnya hingga 40%, dan mengalami kebocoran hasil panen akibat lemahnya pengawasan. "Kerugian negara bukan hanya dari kehilangan panen, tetapi juga dari berkurangnya ekspor, pendapatan petani plasma, dan penurunan kinerja industri hilir seperti biodiesel dan pangan," ujarnya. (I-2)

3 hours ago
1
















































