Sistem Patriarki jadi Penyebab Perempuan Sulit Dapat Kedudukan Setara

4 hours ago 2
Sistem Patriarki jadi Penyebab Perempuan Sulit Dapat Kedudukan Setara Pakar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini(Dok.MI)

Pakar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai rendahnya keterwakilan perempuan di alat kelengkapan dewan (AKD) bukan semata karena jumlah anggota DPR perempuan yang belum mencapai 30%, tetapi lebih disebabkan oleh cara pandang dan sistem kekuasaan internal partai politik yang belum setara.

“Masalahnya bukan hanya pada kuantitas perempuan di parlemen, tetapi pada cara pandang elit partai terhadap posisi politik perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan ditempatkan hanya sebagai simbol, bukan bagian dari pengambil keputusan strategis,” ujar Titi saat dihubungi, Rabu (5/11).

Menurut Titi, mekanisme penentuan siapa yang duduk di AKD baik di komisi maupun badan-badan DPR sangat bergantung pada keputusan fraksi dan elite partai. Kondisi ini membuat peluang perempuan untuk menduduki posisi penting, seperti di Komisi I, II, atau XI, menjadi sangat terbatas.

“Ini bukan soal kemampuan, tetapi soal akses dan kepercayaan politik yang belum diberikan secara adil. Banyak perempuan yang punya kapasitas dan integritas tinggi, tapi tersingkir karena struktur kekuasaan yang patriarkis,” tegasnya.

Titi juga menyoroti pentingnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 169/PUU-XXII/2024, yang menurutnya menjadi tonggak koreksi terhadap ketimpangan representasi perempuan di parlemen. Ia menjelaskan, MK menegaskan bahwa keterwakilan perempuan merupakan perintah konstitusi, bukan sekadar kebijakan sukarela.

“Mahkamah menegaskan bahwa keterwakilan perempuan bukan ‘kewajaran politik’, tapi kewajiban konstitusional. Parlemen tidak bisa lagi menganggap representasi perempuan sebagai bentuk kompromi, melainkan harus diwujudkan secara sistematis dan berkeadilan,” papar Titi.

Menanggapi pandangan yang menyebut perempuan tidak boleh ‘dipaksakan’ mengisi AKD tanpa memperhatikan kemampuan, Titi menyebut pandangan itu keliru dan bias gender.

“Tidak ada bukti bahwa laki-laki selalu lebih kompeten dari perempuan. Justru banyak perempuan yang ahli di bidang kebijakan publik dan ekonomi, tetapi kesempatan mereka dibatasi oleh sistem yang tidak inklusif,” ujarnya.

Ia menegaskan, keterwakilan perempuan di AKD bukan semata urusan ‘pembagian kursi’ melainkan bagian dari keadilan substantif dalam proses politik. Kehadiran perempuan, kata Titi, dapat memperkaya perspektif dan memastikan kebijakan DPR lebih berpihak pada kepentingan masyarakat luas.

“Tanpa perempuan di ruang pengambilan keputusan, isu-isu penting yang berdampak pada masyarakat rentan sering kali diabaikan. Jadi ini bukan soal kuota, tapi soal keadilan politik,” ucapnya.

Pasca putusan MK, Titi mendorong adanya komitmen nyata dari fraksi dan pimpinan DPR untuk membuka ruang setara bagi perempuan di seluruh alat kelengkapan dewan.

“Dengan kemauan politik yang sungguh-sungguh, keterwakilan perempuan di setiap AKD bisa diwujudkan tanpa menurunkan standar kompetensi. Yang perlu dibenahi bukan kualitas perempuan, tapi sistem dan kultur politik yang masih eksklusif,” pungkasnya. (Dev/P-1) 

Read Entire Article
Global Food