Gubernur Riau Abdul Wahid ditangkap KPK.(MI/Rudi Kurniawansyah)
OPERASI Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berulang kali di Riau membuktikan bahwa provinsi itu darurat korupsi. Tercatat sudah empat Gubernur Riau yang ditangkap KPK bersama sejumlah kepala daerah. Tak hanya itu, bahkan penjabat Wali Kota di wilayah Riau juga pernah ditangkap karena kasus korupsi.
Teranyar, OTT KPK terhadap jatah preman (japrem) Gubernur Riau Abdul Wahid yang meminta fee sebesar Rp7 miliar untuk setiap proyek infrastruktur seakan membongkar fenomena suap infrastruktur. Selain itu, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Riau pun bak idola yang menjadi bancakan kepala daerah baik di Riau maupun seluruh Indonesia.
Mantan Penyidik Senior KPK Praswad Nugraha kepada Media Indonesia mengatakan, OTT Riau membuktikan praktik suap dalam pengadaan barang dan jasa, khususnya pada bidang infrastruktur bukan merupakan modus yang baru dalam dunia korupsi dan menduduki peringkat tertinggi dalam jenis perkara yang ditangani oleh KPK sejak lembaga antirasuah itu berdiri.
"Sektor infrastruktur (PUPR) konsisten menjadi lumbung korupsi terbesar di Indonesia. Korupsi di Dinas PUPR merupakan modus berulang yang sudah berlangsung puluhan tahun dan menjadi bancakan paling empuk bagi kepala daerah di seluruh Indonesia," ungkap Praswad yang juga mantan Ketua IM57+ Institute Rabu (5/11).
Dijelaskannya, suap biasanya dibagi antaraktor, dengan potongan wajib sebesar 15-20% dari total nilai proyek infrastruktur hampir pada seluruh wilayah di Indonesia. Proyek infrastruktur jadi ladang korupsi bagi kepala daerah dan pejabat bawahannya karena bernilai besar dan strategis, serta paling mudah menghitung keuntungannya. Sesederhana berapa nilai proyek, langsung dipotong di depan sebesar 20%.
"Akibatnya, pembangunan tidak maksimal, kualitas infrastruktur buruk, dan rakyat tidak merasakan manfaatnya. Perlu diingat, selain nilai setoran wajib 15-20% tersebut, pelaksana pekerjaan juga harus mengambil keuntungan untuk membiayai gaji karyawan, operasional perusahaan, dan lain-lain, sehingga secara faktual hanya 40-50% saja anggaran proyek infrastruktur yang secara riil benar-benar menjadi barang atau bangunan fisik, sisanya menguap menjadi ongkos pelicin," jelas Praswad.
Menurutnya, kasus ini menjadi ujian nyata bagi pimpinan KPK yang baru untuk membuktikan bahwa lembaga ini memiki keinginan berubah.
Hal itu menilik pada kasus korupsi di Dinas PUPR Sumatra Utara yang menyeret menantu mantan Presiden Joko Widodo yang juga Gubernur Sumatra Utara sekaligus mantan Wali Kota Medan, Bobby Nasution. Kasus tersebut menguap begitu saja dan hingga kini tak terdengar kelanjutan penyelidikannya. Padahal eks Kadis PUPR Sumut telah diberi vonis oleh majelis hakim.
"Kami ingatkan, jangan sampai terulang kasus Bobby Nasution yang mendapatkan perlakuan istimewa bahkan tidak pernah diperiksa sama sekali sampai di pengadilan. Publik membutuhkan bukti bahwa KPK masih memiliki komitmen serius dalam penanganan kasus, termasuk ketika menangani kepala daerah. KPK tidak boleh takut untuk menyentuh pihak mana pun yang terlibat, sekalipun mereka memiliki afiliasi politik yang kuat dan jaringan kekuasaan yang luas. Oleh karena itu, penanganan kasus ini harus dituntaskan sampai ke akar-akarnya," tegasnya.
Ia menambahkan, dari pengalaman dalam penanganan kasus KPK menunjukkan, fee yang dikumpulkan oleh seorang kepala dinas atau yang terlibat dalam OTT tidak hanya untuk kepentingannya sendiri. Hampir bisa dipastikan fee tersebut mengalir ke atas dan ke samping, membentuk jaringan yang lebih luas.
"KPK harus berani menelusuri aliran dana dan motif sebenarnya di balik dugaan suap ini, tanpa terhalang oleh kekuatan politik yang mungkin melindungi para pelaku," ujarnya.
Ia juga mengatakan, berapapun nilai yang diamankan oleh KPK pada saat OTT kasus ini, tidak dapat disimpulkan menjadi nilai akhir dari penanganan kasus.
Pada sejarahnya KPK bahkan pernah menangani kasus OTT dengan nilai sangat kecil hanya beberapa juta rupiah saja, tetapi pada saat pemulihan uang pengganti mencapai nilai fantastis dan melibatkan tokoh kunci.
"Untuk itu, ujian sesungguhnya adalah pasca-OTT ini, seberapa jauh dan seberapa besar komitmen KPK untuk menolak intervensi, menolak transaksi, dan menekankan prinsip equality before the law pada saat penanganan kasus ini. KPK harus membuktikan bahwa OTT ini bukanlah titik akhir, melainkan pintu masuk untuk memberantas mafia infrastruktur di Riau yang telah lama merugikan rakyat," paparnya.
Ia menegaskan, Riau memiliki APBD sekitar Rp9,5 triliun. Kondisi tersebut menjadi bancakan empuk bagi kepala daerah.
"Yang harus kita ingat bahwa pada tepat hampir 1 tahun yang lalu pada awal Desember 2024 PJ Wali Kota Pekanbaru juga terkena OTT KPK. Perlu tindakan nyata yang di ambil oleh Presiden Prabowo agar Provinsi Riau tidak terjerumus semakin dalam pada situasi Darurat Korupsi. Terbukti efek jera yang dilaksanakan oleh KPK dengan berkali-kali OTT ternyata tidak efektif di Riau," pungkasnya. (RK/E-4)

2 hours ago
1
















































