Ketika Menhan AS Beretorika

3 weeks ago 22
Ketika Menhan AS Beretorika (Dok. Youtube)

SEBAGIAN masyarakat Indonesia tersengat (mungkin sebagian besar yang lain fokus pada masalah lain di dalam negeri yang tidak kunjung selesai) dan mungkin juga banyak kalangan di 10 negara anggota ASEAN turut mengeryitkan dahi, ketika calon Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Pete Hegseth ‘gagal’ menjawab pertanyaan tentang Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) dalam uji kepatutan di Kongres AS pada 14 Januari 2025 lalu.

Banyak kalangan di dalam negeri menyayangkan ketidaktahuan calon Menhan yang sekarang telah resmi menjadi Menhan AS tersebut karena ASEAN dianggap sebagai mitra strategis bagi AS. Namun, semestinya hal itu justru harus dipandang bahwa Pete Hegseth sedang beretorika, dan mestinya ASEAN khususnya Indonesia harus segera berinstrospeksi diri.

BERTERIMA KASIH KEPADA HEGSETH

Semestinya kita harus berterima kasih kepada Pete Hegseth atas pernyataannya tersebut, bukan malah sebaliknya mencibir karena ‘berguyon’ menjawab pertanyaan Senator Tammy Duckworth yang mengujinya. Pete Hegseth, yang menjawab Jepang dan Korea Selatan ketika diminta untuk menyebutkan satu negara anggota ASEAN, tidak sedang menunjukkan kebodohannya karena menjawab dengan salah, sebaliknya dia sedang beretorika.

Sebenarnya, bisa saja dia balik bertanya kepada penanya yang menganggap ASEAN itu merupakan mitra strategis bagi AS dengan pertanyaan seperti ‘ASEAN itu strategisnya di mana?’. Alih-alih menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, Pete Hegseth memberikan pesan retorika.

Oleh karena itu, kita semestinya sensitif membaca pesan yang disampaikan oleh calon Menhan AS ketika itu. Pada dasarnya, Indonesia menganggap ASEAN adalah organisasi yang strategis di kawasan yang mampu menjembatani kekuatan-kekuatan besar yang bermain di kawasan khususnya di wilayah Asia Tenggara, di mana salah satu hotspot yang menjadi perhatian dunia tertuju kepadanya, yaitu adanya konflik klaim wilayah di Laut China Selatan (LCS) dan tindakan sertif Tiongkok dalam menghadapi konflik tersebut.

Dari jawabannya itu mengindikasikan bahwa daripada ASEAN yang banyak dipersepsikan sebagai salah satu organisasi strategis di kawasan Indo-Pasifik, justru sebenarnya Jepang dan Korea Selatan yang disebutnya dalam menjawab pertanyaan Senator Tammy Duckworth tersebut.

Secara kasatmata jawabannya itu sangat keliru, tetapi pengangkatannya menjadi Menteri Pertahanan AS membuktikan bahwa retorikanya tersebut adalah benar adanya. Maka, semestinya kita dan ASEAN berterima kasih kepada Pete Hegseth yang telah memberikan pandangan nyatanya tentang keberadaan ASEAN, paling tidak pada dua dekade terakhir.

Pete Hegseth dilahirkan pada 6 Juni 1980 sehingga pada tahun ini akan berusia 45 tahun. Minatnya terhadap politik global tecermin dari pendidikannya sebagai sarjana ilmu politik yang lulus di tahun 2003 (22 tahun lalu). Jika orientasi globalnya tidak luput untuk menganalisis kawasan Indo-Pasifik termasuk Kawasan Asia Tenggara, jawaban dalam fit and proper test tersebut adalah sebuah retorika yang berhasil menyakinkan Kongres AS.

Jawaban Pete Hegseth pada 14 Januari 2025 tersebut hampir menjadi fokus berita di banyak media di Tanah Air yang rata-rata mengecam atau kecewa dengan jawabannya itu. Sebaliknya, tidak ada satu pun yang melihat sisi positifnya. Padahal pernyataan tersebut jelas-jelas peringatan berharga yang harus diantisipasi, direnungkan, dan jika perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap program dan kebijakan ASEAN.

ASEAN yang dianggap sebagai organisasi strategis oleh anggotanya, justru tidak dapat menyelesaikan persoalan yang terjadi antarnegara ASEAN sendiri, misalnya sengketa Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia yang justru diselesaikan oleh Mahkamah Internasional.

Lalu, konflik perbatasan di wilayah Candi Angker Wot antara Kamboja dan Thailand, justru Kamboja pertama-tama melaporkan sengketa ini ke DK PBB walaupun pada akhirnya ASEAN turun tangan tapi belum bisa menyelesaikan masalah itu.

Masalah junta militer di Myanmar, ASEAN juga tidak bisa berbuat banyak selain ‘mengucilkan’ Myanmar dari pergaulan ASEAN.

Demikian juga ketika terjadi klaim wilayah di LCS antara Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Tiongkok, Filipina membawa kasus ini ke PCA (Permanent Court of Arbitration). Walaupun PCA memenangkan gugatan Filipina terhadap Tiongkok dan Tiongkok tidak menghiraukannya, ASEAN tidak dapat membantu anggotanya (Filipina) untuk menekan Tiongkok agar mematuhi keputusan PCA tersebut.

Demikian pula Indonesia, beberapa kali mengirim catatan verbal (verbale note) kepada Sejken PBB atas ulah Tiongkok yang mengeklaim sepihak ZEEI di Laut Natuna karena ASEAN belum bisa berfungsi sebagai peace settlement para pihak di kawasan (Asia Tenggara).

Tiongkok yang banyak bersengketa dengan claimant states dari ASEAN di wilayah LCS (Indonesia tidak termasuk claimant state) tidak pernah mau menyelesaikan masalahnya lewat ASEAN. Mereka lebih memilih jalur bilateral dengan mekanisme penyelesaian yang tentu akan berbeda kepada tiap-tiap negara ASEAN yang bersengketa dengannya.

MITRA STRATEGIS AS DI KAWASAN

Jadi, dalam jawaban Pete Hegseth tersebut terkandung pernyataan bahwa sesungguhnya mitra strategis AS di kawasan Indo-Pasifik ialah Jepang dan Korea Selatan. Di Jepang terdapat pangkalan besar AS yakni di Okinawa dan Yokota. Di Korea Selatan terdapat Yongsan Garrison yang berdiri sejak Perang Korea dan Hamprey Garrison yang diproyeksikan sebagai pengganti Yongsan yang berada di tengah Kota Seoul, serta beberapa pangkalan AS lain di sana.

Adapun di ASEAN, negara mana yang benar-benar dapat membantu AS menghadapi bakal lawan yang harus dihadapinya nanti? Pangkalan Laut Subic dan Pangkalan Udara Clark di Filipina yang dulu menjadi dua pangkalan terbesar AS di Asia Tenggara belum beroperasi kembali.

Pete Hegseth juga tidak menyebut Singapura yang jelas merupakan negara yang terbuka atas kebijakan AS dan sebagai salah satu negara ASEAN. Hal itu karena AS tidak dapat menitipkan alutsistanya di Singapura, sebab Singapura sendiri banyak menitipkan alutsistanya di luar negeri.

AS belum merasakan manfaat bermitra dengan ASEAN, paling tidak itu pesan lain yang ingin disampaikan oleh Pete Hegseth, selain letak geografi negara-negara ASEAN yang strategis karena menghubungkan dua samudra, dua benua, serta terdapat salah satu jalur perdagangan dan jalur transportasi minyak dunia lewat laut yakni Selat Malaka.

Selebihnya AS seperti juga Tiongkok melakukan hubungan bilateral yang berbeda-beda dengan kesepuluh anggota ASEAN. Jadi, yang dipandang strategis bukanlah organisasi ASEAN, melainkan negara-negara anggota ASEAN yang dapat memberikan keuntungan strategis bagi AS. demikian pula cara yang sama dilakukan oleh Tiongkok.

Lebih jauh lagi Pete Hegseth merujuk ke Persekutuan AUKUS sebagai organisasi strategis bagi AS di kawasan. Kelahiran AUKUS yang disaksikan oleh penulis ketika berdinas di Canberra memang lebih strategis bagi AS, karena menguntungkan bukan hanya secara ekonomi (pembangunan kapal selam bagi Australia), tapi juga di sektor pertahanan yang merupakan dua sisi mata uang yang paling penting dalam diplomasi global.

Read Entire Article
Global Food