
KASUS keracunan yang menimpa 24 siswa dan 1 guru di SDN 12 Benua Kayong, Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) akibat mengonsumsi menu berbasis ikan hiu goreng memunculkan sorotan serius.
Dosen Sekolah Vokasi IPB University dari Program Studi Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi, Rosyda Dianah, SKM, MKM, mengingatkan bahwa ikan hiu bukanlah bahan pangan yang aman bagi anak-anak karena kandungan logam berat di dalamnya.
Rosyda menegaskan bahwa konsumsi ikan hiu pada anak-anak sangat berisiko.
"Hiu adalah predator puncak yang mudah mengakumulasi merkuri, arsenik, dan timbal melalui proses biomagnifikasi. Akumulasi ini menjadikan daging hiu berbahaya jika dikonsumsi manusia," ujarnya.
MI/HO--Dosen Sekolah Vokasi IPB University dari Program Studi Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi, Rosyda Dianah, SKM, MKM
Ia menjelaskan, biomagnifikasi merupakan proses meningkatnya konsentrasi zat beracun dalam rantai makanan.
Merkuri yang terakumulasi di laut diserap oleh tumbuhan laut, lalu berpindah ke ikan, dan pada akhirnya terkumpul dalam jumlah tinggi pada tubuh hiu.
"Kandungan metil merkuri pada hiu bersifat toksik, dapat menimbulkan mual, muntah, sakit kepala, hingga gangguan saraf serius. Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap efek toksik ini," tambahnya.
Selain merkuri, bagian sirip hiu juga diketahui mengandung arsenik dalam kadar tinggi. Paparan arsenik dapat merusak hati, ginjal, kulit, dan paru-paru. Sementara itu, timbal dalam daging hiu dapat menimbulkan gejala kejang, koma, bahkan kematian.
"Pemilihan ikan hiu sebagai bahan menu Makan Bergizi Gratis (MBG) jelas tidak tepat, apalagi untuk konsumsi anak sekolah," tegas Rosyda.
Ia menyarankan agar penyusunan menu anak-anak mengikuti konsep B2SA: beragam, bergizi, seimbang, dan aman. Menurutnya, pola makan B2SA memastikan anak-anak memperoleh energi dan gizi yang cukup tanpa risiko kesehatan.
"Makanan harus dipilih dari bahan yang aman, mudah diterima anak-anak, serta sesuai kemampuan daya beli masyarakat," katanya.
Selain pemilihan bahan pangan, Rosyda juga menyoroti keutamaan kebersihan dapur dan distribusi makanan. Ia menjelaskan bahwa dapur sehat harus selalu bersih, bebas kontaminasi silang, memiliki fasilitas cuci tangan, serta memenuhi standar pengendalian hama.
"Alur kerja yang sistematis, pemisahan bahan mentah dan matang, serta distribusi makanan tepat waktu sangat berpengaruh pada keamanan pangan," jelasnya.
Menurut Rosyda, kasus di Ketapang dapat menjadi pelajaran agar sekolah, penyedia jasa boga, dan masyarakat lebih berhati-hati dalam memilih serta mengelola pangan.
"Anak-anak tidak boleh dijadikan korban dari kelalaian dalam penyusunan menu dan pengelolaan makanan. Konsep B2SA harus menjadi pedoman utama," pungkasnya. (Z-1)