Sanae Takaichi, Perdana Menteri Baru Jepang yang Gemar Musik Metal

5 hours ago 1
Sanae Takaichi, Perdana Menteri Baru Jepang yang Gemar Musik Metal Presiden Partai Demokrat Liberal (LDP) Sanae Takaichi berdiri untuk memberikan penghormatan atas tepuk tangan setelah ia terpilih sebagai perdana menteri baru Jepang dalam sidang luar biasa majelis rendah parlemen di Tokyo, Selasa (21/10).(AFP/PHILIP FONG)

SANAE Takaichi resmi mencatat sejarah sebagai perempuan pertama yang memimpin Jepang. Di balik citranya yang tegas dan konservatif, Takaichi dikenal sebagai penggemar berat musik heavy metal dan pengagum grup legendaris Iron Maiden serta Deep Purple.

Perempuan kelahiran Prefektur Nara berusia 64 tahun itu menapaki perjalanan politik yang panjang dan tak mudah. Latar keluarganya sederhana. Ayahnya bekerja di pabrik suku cadang mobil sedangkan ibunya pegawai kepolisian.

Sejak muda, Takaichi sudah menunjukkan semangat mandiri. Ia menempuh perjalanan enam jam setiap hari untuk kuliah di Universitas Kobe, meski orang tuanya sempat menolak keinginannya untuk hidup terpisah.

“Dulu saya bermimpi memiliki istana sendiri,” tulisnya dalam memoar tahun 1992 seperti dilaporkan New York Times.

Kini, istana yang dimaksud seolah terwujud ketika ia terpilih sebagai Perdana Menteri Jepang. Kemenangan Takaichi menjadi tonggak baru lantaran dominasi kaum pria dalam sejarah politik negeri sakura.

Sebelum terjun ke politik, Takaichi sempat bekerja sebagai penulis dan presenter televisi. Di masa mudanya, ia juga magang di kantor anggota Kongres AS, Patricia Schroeder, seorang feminis Partai Demokrat yang menginspirasi minat Takaichi pada dunia pemerintahan.

Namun seiring waktu, pandangan politiknya berubah. Takaichi kini lebih dikenal karena sikap konservatifnya, meski di luar itu ia tetap memelihara sisi unik yaitu sebagai pemain drum amatir yang masih sesekali mengenakan jaket kulit dan memutar lagu-lagu Iron Maiden di waktu luang.

Kehidupan pribadinya juga menarik perhatian publik. Ia menikah dengan politikus Partai Demokrat Liberal, Taku Yamamoto, pada 2004, bercerai pada 2017, lalu kembali menikah empat tahun kemudian. Dalam pernikahan keduanya, Yamamoto mengambil nama keluarga Takaichi yang jarang dilakukan di masyarakat Jepang yang patriarkis.

Karier politik Takaichi tak lepas dari sosok mendiang Shinzo Abe, mantan perdana menteri yang dibunuh pada 2022. Keduanya bersekutu sejak awal karier politik Takaichi di parlemen pada 1993. 

Abe yang dikenal berpandangan nasionalis melihat Takaichi sebagai figur yang sejalan dengan visinya memperkuat militer, membangun kebanggaan nasional, dan merevisi konstitusi pascaperang.

Takaichi beberapa kali masuk jajaran kabinet di bawah kepemimpinan Abe, menjadi salah satu perempuan paling menonjol dalam Partai Demokrat Liberal (LDP) yang dikenal konservatif dan didominasi laki-laki. Setelah kematian Abe, Takaichi mengaku sangat terpukul.

“Saya harus bekerja lebih keras mulai hari ini, kalau tidak saya akan merasa bersalah padanya,” ucapnya saat itu.

Seperti mentornya, Takaichi diperkirakan akan membawa Jepang lebih ke kanan. Ia menekankan slogan Japan is back yang menyoroti perlunya kemandirian pertahanan, serta menuntut pembatasan lebih ketat soal isu imigrasi dan pariwisata. Ia juga dikenal sering meremehkan kejahatan perang Jepang di masa lampau yang kerap menuai kritik di dalam dan luar negeri.

Yoshiko Sakurai, jurnalis senior sekaligus pendukung Takaichi, menilai pemimpin baru Jepang itu ingin membangun kebanggaan nasional tanpa menutup diri dari dunia luar.

“Dia ingin Jepang kuat dan sejahtera. Tapi ia juga percaya, kita harus menjadi bangsa Jepang yang memahami budaya, tradisi, dan sejarah kita sendiri,” ujar Sakurai.

Kepemimpinan Takaichi akan diuji dalam menjaga hubungan dengan Amerika Serikat, terutama di tengah ketegangan dagang dan isu pembiayaan pasukan AS di kawasan Asia Timur. Ia dijadwalkan bertemu Presiden Donald Trump di Tokyo pekan depan untuk membahas aliansi kedua negara. (AFP/I-3)

Read Entire Article
Global Food