
DIREKTUR Imparsial, Ardi Manto Adiputra mendorong agar proses penegakan hukum terhadap WFT (22) selaku pemilik akun X @bjorkanesiaaa, dilakukan hingga tuntas dan transparan.
Ardi menegaskan, kepolisian harus tetap fokus pada dugaan tindak pidana siber yang dilakukan, tanpa terpengaruh oleh perdebatan soal keaslian identitas ‘Bjorka’.
“Kepolisian dalam hal ini sebaiknya tetap fokus pada kejahatan yang telah dilakukan oleh terduga WFT di dunia siber dan tidak perlu terganggu dengan isu apakah pelaku yang ditangkap tersebut merupakan Bjorka yang asli atau tidak,” ujar Ardi dalam keterangan tertulis, Selasa (6/10).
Menurut Ardi, aparat berwenang berkewajiban mengusut tuntas jika terbukti WFT benar melakukan tindak kejahatan siber, baik berupa peretasan maupun pemerasan.
“Sepanjang kepolisian dapat membuktikan bahwa WFT adalah orang yang melakukan kejahatan di dunia siber dengan menggunakan nama atau istilah ‘Bjorka’, maka kepolisian tidak hanya berhak, melainkan wajib untuk mengusut tuntas kejahatan yang dia lakukan,” tegasnya.
Selain menyoroti aspek hukum, Ardi juga menilai lemahnya sistem keamanan siber pemerintah sebagai persoalan mendasar. Ia menyebut, kebocoran data pribadi warga yang berulang di berbagai platform digital menunjukkan lemahnya perlindungan negara terhadap hak privasi masyarakat.
“Kebocoran data pribadi ini merupakan pelanggaran terhadap hak atas privasi, yang juga bagian dari hak asasi manusia,” imbuh Ardi.
Ia mendesak pemerintah agar tidak hanya fokus memburu pelaku, tetapi juga memperkuat sistem keamanan data di hulu, termasuk melalui pengawasan implementasi regulasi dan penerapan teknologi kriptografi.
“Jangan sampai pemerintah hanya berfokus pada penanganan di hilirnya saja, lebih sibuk memburu pelaku, sementara persoalan di hulunya atau akar masalahnya tidak ditangani, yaitu lemahnya tata kelola data pribadi,” kata Ardi.
Ardi juga menekankan pentingnya transparansi dalam proses hukum terhadap WFT.
“Dalam kasus Bjorka ini, kami menuntut agar kepolisian membuka seluas-luasnya proses penegakan hukum terhadap tersangka WFT. Publik berhak tahu sejauh mana data mereka bocor, bagaimana negara menanganinya, dan apa jaminan agar kasus serupa tidak terulang di kemudian hari,” ujar dia.
Sebelumnya, Kepolisian mengungkapkan sejumlah temuan baru terkait sosok WFT. Wakil Direktur Siber Direktorat Siber Polda Metro Jaya AKBP Fian Yunus menyebut, pelaku telah aktif di dark web sejak 2020.
“Pelaku kita ini bermain di dark web tersebut, di mana di dark web itu yang bersangkutan sudah mulai mengeksplor sejak tahun 2020,” kata Fian, Kamis (2/10).
Menurut Fian, WFT sempat beberapa kali mengganti nama pengguna, antara lain dari “Bjorka” menjadi “SkyWave”, “ShinyHunter”, hingga terakhir “Opposite6890” pada Agustus 2025, untuk mengelabui aparat penegak hukum.
“Tujuan pelaku melakukan perubahan nama ini adalah untuk menyamarkan dirinya dengan berbagai cara, termasuk menggunakan beragam email dan nomor telepon, sehingga sangat sulit dilacak,” jelasnya.
Fian menambahkan, WFT diduga memperjualbelikan data institusi baik dalam maupun luar negeri, termasuk data perusahaan kesehatan dan sektor swasta, menggunakan mata uang kripto.
“Berapa uang yang didapatkan ini masih kami dalami. Tapi pengakuannya, sekali menjual data nilainya bisa mencapai puluhan juta rupiah,” ujar Fian.
“Tergantung pembelinya, karena transaksi dilakukan di dark forum dengan pembayaran menggunakan cryptocurrency,” lanjutnya.
Sementara itu, muncul akun lain yang mengaku sebagai Bjorka di media sosial dengan nama @bjorkanism setelah penangkapan WFT. Akun tersebut mengklaim membocorkan data dari Badan Gizi Nasional (BGN), sehingga kembali memicu reaksi publik di media sosial. (Dev/P-3)