
PAKAR Hukum Universitas Trisakti, Ali Ridho, menilai rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang terdapat pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) mengadopsian pasal-pasal Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Menurutnya, FCTC bukan instrumen hukum yang legal untuk dijadikan rujukan. FCTC secara legal tidak diratifikasi di Indonesia, tetapi pasal-pasalnya justru disinyalir menyusup dalam kebijakan yang sedang dirumuskan oleh Kemenkes, seperti rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.
"Menjadikan FCTC sebagai landasan atau kiblat dalam pembentukan regulasi merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi," ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Selasa (18/2).
Indonesia sendiri sudah memiliki kiblat dalam pembentukan hukum yang berkeadilan dan berkepastian, yaitu Pancasila, UUD 1945, dan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini juga berlaku untuk pengaturan di bidang kesehatan.
"Keseluruhannya layak untuk dijadikan kiblat dalam perumusan Rancangan Permenkes, bukan justru melandaskan pada instrumen asing yang belum berkepastian hukum,” ujar Ali.
Jika Kemenkes tetap ingin menerapkan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek melalui Rancangan Permenkes, maka tindakan tersebut dikatakan telah mengarah pada reduksi kedaulatan negara.
Ali menambahkan, penyusunan Rancangan Permenkes ini melawan arah substansi dalam putusan MK yang menghendaki pengaturan ekosistem tembakau secara proporsional dan berkeadilan, bukan malah pelarangan seperti yang dikehendaki FCTC.
Masalah intervensi asing juga menjadi pembicaraan hangat usai Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan negara yang dipimpinnya keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Padahal, AS merupakan donatur terbesar bagi WHO.
Keputusan AS meninggalkan WHO disebut sebagai upaya untuk menjaga kedaulatan negara dari dominasi korporasi tertentu dalam menjalankan fungsi kesehatan. Tindakan ini seharusnya menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah Indonesia di tengah ancaman intervensi asing melalui aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Permenkes.
Ali menyatakan, Indonesia seharusnya sudah sejak lama memiliki posisi untuk tidak tunduk dengan agenda asing dalam menyusun sebuah kebijakan. "Konsentrasi Indonesia terhadap perbaikan regulasi, seharusnya tidak perlu menunggu momentum AS keluar WHO,” ujarnya.
Ali meminta agar Pemerintah Indonesia memperkuat kedaulatan hukum dan regulasi. Kebijakan harus berbasis kepentingan nasional, sehingga pemerintah harus merancang regulasi yang berpihak pada kepentingan nasional, termasuk terkait regulasi kesehatan.
Pemerintah pun diminta agar melakukan pemberdayaan masyarakat dan civil society dengan melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Kemenkes tidak boleh tergesa-gesa dalam pengesahan Rancangan Permenkes, melainkan kembali memperhatikan masukan dari berbagai pemangku kepentingan terkait sebagai bentuk meaningful participation.
Bagi Ali, tindakan tersebut akan meningkatkan legitimasi pemerintah dan mengurangi celah bagi intervensi asing melalui aktor non-negara. "Atas hal tersebut, sebenarnya cukup merumuskan ulang atau rekonstruksi materi muatan dalam Rancangan Permenkes agar sejalan dengan falsafah kerakyatan," pungkasnya. (H-2)