Surplus Perdagangan RI Menyempit di Tengah Tekanan Impor

9 hours ago 3
Surplus Perdagangan RI Menyempit di Tengah Tekanan Impor Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics & Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman.(Dok. Antara)

SURPLUS neraca perdagangan Indonesia mulai menyempit di tengah tekanan impor. Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics & Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menjelaskan, hal ini seiring dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat neraca perdagangan September 2025 surplus US$4,34 miliar atau setara Rp72,38 triliun (asumsi kurs Rp16.668). Angka ini menurun dibandingkan surplus pada Agustus 2025 yang sebesar US$5,5 miliar atau Rp91,67 triliun.

"Surplus neraca perdagangan Indonesia mulai menyempit karena peningkatan impor barang modal dan bahan baku," ujarnya kepada Media Indonesia, Senin (3/11).

Rizal menjelaskan, menyempitnya surplus neraca perdagangan artinya kelebihan ekspor dibanding impor semakin kecil, bukan berarti berubah menjadi defisit.

Jika dibandingkan hingga Desember 2023, total surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai US$36,93 miliar (Rp615,63 triliun), sementara hingga Agustus 2025 surplus baru mencapai US$29,14 miliar (Rp485,95 triliun), dengan tren bulanan turun dari rata-rata US$6 miliar menjadi US$4–5 miliar. Kondisi ini menunjukkan ekspor masih tumbuh, tetapi tidak sekuat sebelumnya.

"Hal ini akibat melemahnya harga komoditas utama, meningkatnya impor bahan baku dan barang modal, serta perlambatan permintaan global," terangnya.

Ekspor nonmigas Indonesia tumbuh sebesar 9,15% pada periode Januari–Agustus 2025. Namun, Rizal menuturkan, tekanan eksternal yang meningkat akibat potensi kebijakan tarif tinggi dari pemerintahan Presiden AS Donald Trump jilid 2. Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah membuat surplus eksternal menjadi rapuh dan mudah terkoreksi bila harga global turun atau permintaan melemah.

Untuk menjaga surplus tetap berkelanjutan, diperlukan penguatan struktur ekspor bernilai tambah, diversifikasi pasar, dan pengendalian impor nonproduktif.

Menurut ekonom Indef itu, menjelang akhir 2025, arah kebijakan perlu menitikberatkan pada stabilitas nilai tukar dan penguatan daya saing ekspor. Koordinasi fiskal dan moneter harus diperkuat untuk menjaga surplus perdagangan sekaligus menahan tekanan inflasi impor.

Pemerintah juga perlu memperluas diversifikasi pasar, mempercepat hilirisasi, dan menekan impor konsumtif agar neraca eksternal tetap sehat.

"Dengan disiplin kebijakan dan fokus pada produktivitas, Indonesia berpeluang menutup 2025 dengan inflasi terkendali dan surplus perdagangan yang lebih berkualitas," tutupnya.

Dorongan surplus dagang

Dihubungi terpisah, ekonom Bank Danamon Hosiana Evalita Situmorang menerangkan, Indonesia mencatat surplus perdagangan beruntun ke-65 pada September 2025 sebesar US$4,34 miliar karena kinerja ekspor tumbuh lebih tinggi dari ekspektasi. Yakni, naik 11,41% yoy menjadi US$24,68 miliar. Hal ini terutama didorong sektor manufaktur (+20,25% yoy) yang meliputi minyak sawit, perhiasan, dan logam dasar.

"Lonjakan ekspor minyak sawit didorong harga minyak sawit mentah (CPO) yang lebih tinggi yakni US$954,71 per metrik ton, serta meningkatnya permintaan dari India," jelasnya.

Di sisi lain, ekspor batu bara menurun 20,85% yoy, sehingga total ekspor pertambangan turun 18,80% yoy pada September 2025. Di satu sisi, total impor Indonesia naik 7,17% yoy menjadi US$20,34 miliar hingga September 2025, meskipun pertumbuhan impor bahan baku rendah.

"Sementara itu, impor barang modal terus meningkat 28,02% yoy, terutama dari peralatan listrik dan mesin, seiring dimulainya ekspansi siklikal domestik," imbuh Hosiana.

Mesin dan peralatan listrik menjadi kontributor impor terbesar, masing-masing menyumbang 7,47% dan 14,83% dari total impor, dengan pertumbuhan +6,35% YoY dan +13,19% yot. Pertumbuhan ini didukung ekspansi aktivitas manufaktur atau PMI Indonesia pada Oktober 2025 di level 51,2, yang meningkat akibat pesanan baru dan pembelian, sehingga memicu percepatan produksi.

"Impor kendaraan yang menyumbang 5,41% dari total sembilan bulan pertama tahun ini yang meningkat 20,33% yoy, dengan Tiongkok tetap menjadi mitra terbesar sebesar US$3,52 miliar. Ini menunjukkan adanya frontloading impor," kata ekonom Bank Danamon itu.

Ke depan, kesepakatan perdagangan AS-Tiongkok diperkirakan akan mendukung ekspor Indonesia, terutama nikel dan baja, dengan potensi tambahan US$200 juta-300 juta per bulan dari lisensi bijih tembaga 480.000 ton milik PT Amman Mineral International.

Read Entire Article
Global Food