
Dunia pedalangan Indonesia tengah berduka. Kanjeng Raden Tumenggung Haryo Lebdo Nagoro, atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Anom Suroto, berpulang pada Kamis (23/10) pagi di Rumah Sakit Dr Oen Kandang Sapi.
“Benar, bapak wafat tadi pagi karena sesak napas. Saat ini saya masih menunggu jenazah di RS Dr Oen Kandang Sapi. Mohon dimaafkan segala kesalahan almarhum,” ujar menantu almarhum, Andri Adiyanto, kepada Media Indonesia.
Ki Anom Suroto meninggal dunia pada usia 77 tahun. Kakak dari dalang kondang Ki Warsino Slank ini dikenal sebagai salah satu maestro wayang kulit yang telah mengabdikan hidupnya di dunia pedalangan sejak 1968, ketika pertama kali tampil di Radio Republik Indonesia (RRI).
Bakatnya dalam mendalang telah tampak sejak usia 12 tahun. Ia belajar langsung dari sang ayah, Ki Sadiyun Harjadarsana asal Juwiring, Klaten. Selain itu, ia juga menimba ilmu dari dalang senior Ki Nartosabdo, serta berguru di Himpunan Budaya Surakarta (HBS) dan Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PDMN).
Atas ketekunan dan dedikasinya dalam melestarikan seni pedalangan, Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Pakubuwono XII, menganugerahkan kepadanya gelar Abdi Dalem Penewu Anom Anom pada tahun 1978. Gelar tersebut kemudian meningkat menjadi Bupati Sepuh dengan nama kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Lebdo Nagoro.
Hingga menjelang akhir hayatnya, Ki Anom Suroto tercatat sebagai satu-satunya dalang Indonesia yang pernah tampil di lima benua. Ia pernah mewakili Indonesia dalam pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat) pada tahun 1991, dan juga tampil di berbagai negara seperti Jepang, Spanyol, Jerman, Australia, Rusia (2018), serta beberapa negara lain seperti Nepal, India, Mesir, dan Yunani.
Sebagai seniman besar, Ki Anom Suroto juga pernah menerima Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto atas jasanya melestarikan budaya bangsa. Ia sempat menjabat sebagai Ketua III Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Pusat dan dikenal memiliki suluk atau tembang khas dalam pedalangan yang hingga kini belum tertandingi.
Dalam kesehariannya, almarhum tidak hanya aktif mendalang, tetapi juga membimbing generasi muda, termasuk putranya, Ki Bayu Aji Pamungkas, yang menjadi penerusnya. Setiap Rebo Legen, ia rutin mengadakan saresehan bersama para dalang di Padepokan Seni Timasan, rumah sekaligus tempat ia mendidik calon-calon dalang di Makam Haji, Kartasura, Sukoharjo.
Meski dikenal piawai dan sempat mencipta gending berjudul Solo Berseri, Ki Anom Suroto belum sempat menciptakan lakon wayang ciptaannya sendiri, sehingga belum disematkan predikat empu dalang.
Dalang besar yang menikah dua kali ini meninggalkan delapan orang anak. Dari mereka, hanya Bayu Aji Pamungkas yang melanjutkan jejak sang ayah di dunia pedalangan. (E-3)