
PAKAR elektoral dan tata kelola pemilu dari Universitas Airlangga (Unair), Kris Nugroho, menilai sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan pergeseran sistem pemilu dari proporsional terbuka (open list) menuju sistem proporsional tertutup (close list). Langkah ini dinilai penting untuk memperkuat kelembagaan partai politik.
“Kita perlu menggeser dari open list ke close list dengan argumen bahwa partai harus memiliki kewenangan yang kuat untuk mengontrol calon legislatifnya,” ujar Kris dalam Seminar Kodifikasi UU Pemilu Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan pada Rabu (8/10).
Menurut Kris, sistem daftar tertutup tidak bisa diterapkan hanya melalui revisi umum terhadap undang-undang kodifikasi pemilu. Perubahan itu juga harus menyentuh aspek syarat pencalonan dan mekanisme rekrutmen kader yang diatur dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu.
“Selama ini partai politik cenderung tidak menyentuh persoalan publik yang berkaitan dengan rekrutmen internal. Misalnya, dalam regulasi pencalonan anggota legislatif, saya belum melihat adanya persyaratan yang menilai karya atau kontribusi kader terhadap partainya,” jelasnya.
Kris mencontohkan, di sejumlah negara seperti Australia dan Jerman, partai politik menerapkan konvensi internal untuk menyeleksi calon anggota legislatif. Dalam sistem itu, calon anggota legislatif harus mendapatkan dukungan dari komunitas partai sebelum dicalonkan secara resmi.
“Di beberapa negara seperti Australia dan Jerman, kandidat legislatif harus lolos dalam konvensi tingkat partai. Mereka harus mendapat rekomendasi dari partai dan menunjukkan dukungan nyata dari komunitas partai di tingkat lokal,” ungkapnya.
Selain itu, Ia menjelaskan komunitas partai dimaksud adalah anggota yang aktif membayar iuran dan terlibat dalam kegiatan partai dan berperan penting dalam menentukan kualitas calon legislatif yang diusung partai.
“Komunitas partai ini menjadi alat seleksi yang sehat. Jadi ada kompetisi di dalam partai untuk menguji kualitas calon legislatifnya,” tutur Kris.
Lebih lanjut, Kris menilai bahwa penyempurnaan sistem pencalonan harus mencakup persyaratan minimal bagi kader yang ingin maju dalam pemilu legislatif. Salah satu syarat yang ideal, menurutnya, adalah pengalaman menjadi pengurus partai selama minimal dua tahun sebelum dicalonkan.
“Caleg sebaiknya hanya bisa maju jika sudah menjadi kader aktif atau pengurus partai setidaknya dua tahun. Ini untuk mencegah praktik pragmatis seperti politik pindah-pindah partai tanpa komitmen ideologis,” tegasnya.
Lebih jauh, Kris menyarankan adanya penguatan sistem rekrutmen dan standardisasi kaderisasi di internal partai politik sebagai kunci perbaikan sistem demokrasi representatif di Indonesia.
“Kalau partai bisa memperbaiki dan memperkuat proses standarisasi kaderisasi, itu akan menjadi kunci apakah partai layak ikut pemilu atau tidak. Demokrasi kita akan lebih sehat kalau pondasinya yaitu partai politik, kuat dan berintegritas,” pungkasnya. (Dev/P-3)