
PAKAR Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini menegaskan pentingnya menjadikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu sebagai momentum reformasi menyeluruh terhadap sistem kepemiluan di Indonesia. Ia menilai, pembahasan RUU Pemilu ke depan harus berlandaskan pada tiga pijakan utama agar tidak terjebak dalam kepentingan politik praktis di DPR.
“Pertama, revisi UU Pemilu harus diawali dengan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh tantangan dan persoalan dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024,” ujar Titi dalam keterangannya, Kamis (9/10).
Menurutnya, evaluasi tersebut penting untuk memastikan revisi UU Pemilu tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga mampu memberikan solusi sistemik terhadap berbagai persoalan teknis dan kelembagaan yang muncul dalam pemilu terakhir.
“Kedua, karena tidak ada lagi pembedaan antara rezim pemilu dan pilkada setelah Putusan MK No.85/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024, maka penyusunan UU Pemilu dan Pilkada seharusnya dilakukan dalam model kodifikasi satu naskah,” jelasnya.
Selain itu, Titi menekankan model kodifikasi tersebut perlu memuat seluruh aspek pemilu, mulai dari pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD), hingga pemilihan kepala daerah dan penyelenggara pemilu.
“Ketiga, RUU Pemilu harus sepenuhnya mengakomodir seluruh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah merekonstruksi aturan elektoral, baik untuk pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun pemilu kepala daerah,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan pentingnya memperhatikan putusan MK yang telah memisahkan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah, sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024.
“Dengan mengintegrasikan pelajaran praktis dan koreksi konstitusional, revisi UU Pemilu akan memiliki legitimasi hukum yang kokoh sekaligus relevansi politik yang nyata,” kata Titi.
Namun, di balik urgensi normatif tersebut, Titi mengingatkan adanya tantangan besar berupa kuatnya kepentingan politik praktis di DPR. Menurutnya, sejarah menunjukkan bahwa pembahasan RUU Pemilu kerap molor karena tersandera tarik-menarik kepentingan antarfraksi.
“Perbedaan pandangan terkait desain sistem pemilu sering kali membuat proses legislasi berlarut-larut. Apalagi karena RUU Pemilu ini diusulkan oleh DPR, maka setelah draf rampung masih harus dibahas bersama pemerintah, dan proses itu sering kali tidak mudah,” tuturnya.
Untuk itu, Titi mengusulkan agar pemerintah mengambil inisiatif sebagai pengusul RUU Pemilu. Menurutnya, dengan kapasitas birokrasi yang dimiliki, pemerintah bisa lebih cepat menyiapkan naskah akademik dan rancangan RUU.
Langkah ini, lanjutnya, akan memungkinkan proses pembahasan dengan DPR dimulai lebih awal dan menghindari revisi UU Pemilu dari jebakan tarik-ulur politik yang melelahkan.
“Revisi UU Pemilu adalah ujian serius bagi kredibilitas demokrasi Indonesia. Apakah pembentuk undang-undang akan memilih jalan aman dengan tambal sulam pragmatis, atau berani mengambil langkah bersejarah dengan rekonstruksi menyeluruh,” tegas Titi.
Lebih jauh, Titi memperingatkan bahwa kegagalan memanfaatkan momentum revisi kali ini akan berdampak panjang pada perkembangan dan kualitas demokrasi ke depan.
“Jika pembentuk undang-undang gagal, Pemilu 2029 hanya akan mengulang problem lama dengan biaya politik yang semakin mahal. Tetapi jika berhasil, Indonesia berpeluang menata demokrasi yang lebih stabil, representatif, dan berintegritas,” pungkasnya. (Dev/P-3)