Industri Kemarahan Kompleks dan Ekonomi Atensi

4 hours ago 2
Industri Kemarahan Kompleks dan Ekonomi Atensi (Dokpri)

SETIAP zaman memiliki industrinya. Revolusi industri pertama melahirkan mesin uap. Revolusi kedua menghadirkan listrik dan baja. Revolusi ketiga membuka jalan bagi komputer dan internet. Namun, di era keempat ini, kita menyaksikan industri baru yang tak kalah dahsyat dampaknya: industri kemarahan

Industri ini tidak menghasilkan baja atau batu bara, tetapi menghasilkan klik, tayangan, dan interaksi. Bahan bakunya bukan kapas atau karet, melainkan emosi manusia, terutama kemarahan, kebencian, dan kemuakan. Produknya bukan barang di rak toko, melainkan opini terpolarisasi, fitnah yang viral, dan konflik yang kian sulit dijembatani. 

Ekonomi Atensi: Logika Pasar Baru 

Puluhan tahun lalu, ekonom dan peraih Nobel Herbert Simon telah memperingatkan bahwa di dunia yang banjir informasi, sumber daya paling berharga bukan lagi emas, melainkan perhatian manusia. Dari sinilah lahir istilah ekonomi atensi, sebuah sistem di mana nilai ditentukan oleh seberapa lama dan seberapa dalam sebuah konten mampu menyita perhatian publik. 

Dalam logika ini, manusia bukan lagi pengguna, melainkan komoditas. Otak kita memiliki kecenderungan alami untuk lebih cepat merespons hal negatif (negativity bias), sehingga konten yang memancing amarah hampir selalu unggul. Algoritma memperkuat bias itu dengan mengalirkan lebih banyak konten provokatif karena terbukti paling menjual. 

Dengan kata lain, kemarahan telah menjadi komoditas paling likuid di pasar atensi global. Fenomena ini bukan sekadar teori. Penelitian MIT yang diterbitkan di Science (2018) menemukan bahwa berita palsu 70 persen lebih mungkin dibagikan dibanding berita benar. 

Mengapa? Karena berita palsu lebih sering dikemas dengan kejutan, moralitas, dan provokasi emosional. Angkanya mencengangkan: setiap kata negatif dalam judul meningkatkan kemungkinan diklik hingga 2,3 persen, sementara setiap kata bermuatan moral-emosional meningkatkan peluang dibagikan hingga 20 persen. 

Akhirnya algoritma menarik kesimpulan sederhana: semakin banyak emosi, semakin banyak atensi, dan semakin besar keuntungan ekonomi. Di titik ini, kemarahan berubah menjadi pertunjukan sosial (social performance), dihadiahi dengan visibilitas, pengikut, dan validasi digital. 

Tantangan Global Misinformasi dan Emosi 

Di era ekonomi atensi, setiap negara harus memahami bahwa misinformasi dan eksploitasi emosi merupakan ancaman strategis. Ini bukan isu teknis, melainkan persoalan kedaulatan. 

Peringatan ini diperkuat oleh World Economic Forum (WEF) dalam Global Risks Report 2025. Laporan itu menempatkan misinformasi dan disinformasi sebagai ancaman keempat terbesar bagi dunia dan memprediksi bahwa dalam dua tahun ke depan ia akan naik menjadi ancaman nomor satu, melampaui krisis iklim dan ketidakstabilan ekonomi. 

Artinya jelas yaitu salah satu perang terbesar abad ini tidak lagi hanya soal senjata atau ekonomi, melainkan soal narasi. Siapa yang menguasai narasi, menguasai negeri. 

Influencer Kemarahan 

Dengan 212 juta pengguna internet dan rata-rata lebih dari enam jam online per hari, Indonesia adalah salah satu pasar terbesar dalam ekonomi atensi global. Hampir setiap warga kini bersentuhan dengan industri kemarahan kompleks, baik sebagai konsumen pasif yang tanpa sadar memutar roda algoritma maupun sebagai aktor aktif yang membagikan konten penuh provokasi. 

Dari sinilah lahir kelas baru: influencer kemarahan. Mereka bukan sekadar pengguna, melainkan produsen konten konflik. Dengan setiap video provokatif, mereka meraup jutaan penonton, ribuan pengikut baru, dan pemasukan iklan, melahirkan industri konfrontasi di mana nilai diukur bukan dari kebenaran, tetapi keviralan dan keterlibatan emosi publik. 

Keuntungan finansial mereka pun tumbuh, sementara masyarakat membayar ongkos sosialnya berupa polarisasi, kecurigaan, dan rapuhnya persatuan. Jika tidak diantisipasi, industri ini akan menggerus fondasi kebangsaan. Polarisasi bukan lagi gejala, melainkan produk yang sengaja dipasarkan. 

Jalan Keluar: Membangun Industri Harapan 

Kemarahan bukanlah musuh, sebab ia adalah reaksi alamiah. Yang berbahaya adalah ketika ia dimanipulasi dan dimonetisasi oleh sistem yang menjadikan emosi manusia sebagai bahan baku utama. Itulah yang disebut industri kemarahan. 

Karena itu, bangsa ini harus menyiapkan langkah tandingan: membangun industri harapan untuk melawannya. Ada tiga langkah utama. 

Pertama, kesadaran individu. Setiap kali menjumpai konten yang memancing emosi, terutama kemarahan, kita perlu bertanya: apakah ini kemarahan yang tulus atau kemarahan yang direkayasa? Kemampuan membedakan antara righteous indignation dan manufactured outrage adalah benteng pertama kedaulatan pikiran. 

Kedua, sistem tanggap cepat. Setiap pelaku komunikasi, baik lembaga negara maupun swasta, perlu memiliki mekanisme untuk melawan hoaks dalam 60 menit pertama, masa paling krusial dalam arus informasi publik. Data yang akurat harus hadir bersama bahasa yang menyentuh nurani, karena dalam komunikasi publik, kecepatan adalah kedaulatan. 

Hoaks masih terus menjadi ancaman bersama, tanpa terkecuali. Studi University of Baltimore dan CHEQ (2019) memperkirakan kerugian ekonomi global akibat hoaks mencapai US$78 miliar per tahun atau lebih dari Rp1.000 triliun. Artinya, kebohongan tidak hanya merusak percakapan publik, tetapi juga menimbulkan biaya ekonomi nyata kepada banyak pihak.  

Ketiga, membangun dan mendukung industri harapan. Jika kemarahan bisa viral, harapan pun bisa. Riset menunjukkan bahwa bukan hanya amarah, tetapi juga kekaguman, ketakjuban, kebanggaan, dan harapan mampu memicu keterlibatan publik. Artinya, kita dapat menggunakan mekanisme yang sama--emosi--tetapi untuk tujuan yang lebih mulia. 

Kisah inspiratif, narasi kebangsaan, dan konten edukatif perlu dikemas sekuat konten provokatif. Para influencer harapan layak mendapat insentif dan apresiasi, tak melulu soal uang, tetapi juga ruang, kepercayaan, dan pengakuan publik. Dengan begitu, ekonomi atensi dapat lambat laun bergeser dari industri kemarahan menuju industri harapan. 

Industri kemarahan memang tidak akan hilang dalam semalam. Namun kita punya pilihan yakni menjadi konsumen pasif yang dikendalikan algoritma, atau bangsa yang berdaulat atas emosinya sendiri. 

Kemarahan mungkin lebih cepat, tetapi harapan lebih kuat. Kebencian mungkin lebih laku, tetapi kebenaran lebih langgeng. Bangsa yang besar bukan yang menjadikan kebencian sebagai industri, melainkan yang menjadikan kebenaran sebagai kompas.

Read Entire Article
Global Food