
“DULU waktu kita bangun tidur, cemong semua, hitam-hitam di hidung, di muka,” tutur pengasuh Pondok Pesantren Benda Kerep, KH Miftah Faqih, saat ditemui Media Indonesia, Rabu (22/10). Ia pun tertawa kecil mengenang kondisi pesantren puluhan tahun silam.
Secara administrasi, Pesantren Benda Kerep masuk wilayah Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Menjelang maghrib, para santri akan menyalakan sentir atau lampu minyak tradisional. Sentir dinyalakan menggunakan minyak tanah yang dihubungkan dengan sumbu lalu dibakar. Proses pembakarannya pun menghasilkan asap hitam, yang kemudian bisa membuat wajah, terutama di bagian hidung dan pipi menghitam terkena asap sentir.
Sebelum listrik masuk, sentir menjadi penerangan utama para santri di pondok pesantren yang berdiri sejak 1826 itu untuk menjalankan kegiatan mereka. Mulai dari salat magrib yang dilanjutkan salat Isya, mengaji dan berbagai kegiatan keagamaan yang biasa dilakukan di sebuah pondok pesantren.
“Biasanya kegiatan selesai sekitar pukul 10 malam. Santri-santri pun beristirahat,” tutur Miftah.
Sentir pun akan tetap dinyalakan hingga minyaknya habis dan saat terbangun di pagi hari menghasilkan wajah santri yang menghitam.
“Minimnya penerangan di malam hari tetap membuat santri semangat beribadah, mengaji maupun kegiatan lainnya. Tapi ya, ada juga yang malas justru terbantu,” tutur Miftah sambil tersenyum.
Peralihan ke Mesin Diesel
Sekitar era 1980-an, penggunaan sentir diganti dengan mesin diesel. Menurut Miftah, mesin diesel yang digunakan cukup besar hingga bisa menerangi sejumlah rumah.
“Tapi dulu rumah di sini memang sedikit, belum sebanyak sekarang. Lampu itu pun dipasang hanya di ruang-ruang tertentu. Seperti di asrama, di ruang tamu dan ruangan lainnya yang paling sering digunakan santri untuk belajar,” tutur Miftah.
Penggunaan mesin diesel untuk menghasilkan tenaga listrik yang disalurkan ke rumah dan pondok, membuat kegiatan santri untuk belajar agama menjadi lebih baik.
“Terutama jadi lebih terang. Kalau pakai sentir kan pencahayaan terbatas,” tutur Miftah. Namun penggunaan mesin diesel juga membutuhkan dana untuk pembelian solar sebagai bahan bakarnya.
Masih di era 1980-an, pemerintah menawarkan masuknya listrik ke pesantren mereka. Setelah melakukan diskusi, mereka pun menerima pemasangan listrik untuk menerangi dan membuat proses belajar dan beribadah para santri menjadi lebih baik lagi.
“Namun dengan syarat. Yaitu tidak membolehkan penggunaan barang elektronik, termasuk televisi dan radio di tempat ini,” tutur Miftah.
Syarat tersebut menurut Miftah merupakan hasil berembuk dan musyawarah masyarakat dengan pengelola pesantren. Pertimbangannya, penggunaan barang-barang elektronik tersebut dinilai lebih banyak membawa dampak negatif dibandingkan dengan dampak positif. Akhirnya, hingga kini tidak ada televisi maupun radio di kawasan Benda Kerep.
“Tapi sekarang, dengan adanya handphone justru lebih bahaya,” tutur Miftah.
Sebagai pengasuh, Miftah mengakui memiliki handphone untuk berkomunikasi dengan orangtua santri dan relasinya. Namun Miftah pun tidak bisa memungkiri, bahwa kemajuan zaman membuat santri juga membutuhkan informasi dari handphone. Hingga akhirnya diambil keputusan, santri diperbolehkan memegang handphone namun terbatas.
“Kalau santri mau bawa handphone diperbolehkan, tapi saya batasi. Mereka boleh memegang handphone setiap Senin dan Selasa. Namun Selasa malam atau malam Rabu, diambil lagi. Dikumpulkan ke pengasuh pondok,” tutur Miftah.
Pembatasan penggunaan handphone juga dilakukan agar tidak memberatkan orangtua santri untuk mengeluarkan biaya membeli kuota untuk anaknya yang menuntut ilmu di Pesantren Benda Kerep.
Selanjutnya Miftah pun memanjatkan syukur dengan masuknya aliran listrik di pesantren mereka. “Benar-benar mempermudah santri belajar. Untuk salat tahajud pun, tinggal cetek, listrik langsung nyala. Tidak ada rasa takut lagi,” tutur Miftah.
Melestarikan Wasiat
Pesantren Benda Kerep merupakan salah satu pesantren yang hingga kini masih mempertahankan nilai-nilai tradisional dan mematuhi wasiat dari pendirinya, yaitu KH Maulana Muhammad Soleh atau lebih dikenal dengan panggilan Mbah Soleh.
Salah satu wasiat Mbah Soleh yaitu tidak boleh membangun jembatan untuk menuju Benda Kerep. Sehingga setiap pengunjung, termasuk pengunjung, harus melewati sungai untuk bisa sampai ke Benda Kerep. Motor maupun mobil, diparkir di sisi sungai lainnya.
Kalau hujan, otomatis sungai pun tidak bisa dilewati karena air sungai meluap.
“Tapi, alhamdulillah paling lama hanya satu jam. Setelah itu bisa dilewati kembali,” tutur Miftah.
Sekali pun tidak mengetahui alasan secara persis di balik wasiat itu, namun Miftah mengungkapkan bahwa air sungai bisa membersihkan kaki sebelum memasuki Benda Kerep. Namun kini, untuk memasuki kawasan Benda Kerep menjadi lebih mudah karena telah dibangun titian yang terbuat dari beton dengan panjang sekitar 1,5 meter.
Ada sekitar 20-an titian yang menghubungkan antara sisi-sisi sungai. Dengan titian tersebut pengunjung tidak perlu melepaskan sepatu maupun sandal yang dipakai saat melewati sungai.
Saat memasuki Benda Kerep, yang terdengar hanya kicauan burung, salah satunya burung tekukur yang suaranya terdengar merdu. Sekalipun rumah warga terlihat berdempetan, namun tidak terdengar suara-suara dari barang elektronik, seperti televisi maupun radio. Justru yang terdengar jelas suara merdu warga yang tengah melantunkan ayat suci Al-Qur'an dari salah satu rumah.
Memasuki lebih dalam ke Kampung Benda Kerep, terlihat sejumlah santri yang tengah mencuci dan menjemur pakaian mereka sendiri. Sambil menunggu waktu zuhur, sejumlah santri terlihat bercengkrama dengan teman-teman mereka. Tiada seorang pun yang terlihat memegang handphone.
Saat azan berkumandang, para santri akan salat berjamaah yang dilanjutkan dengan membaca kitab hingga salat ashar. Usai salat ashar, para santri beristirahat dan memasak makanan mereka.
“Di sini santri memang masak sendiri. Untuk melatih kemandirian, baik laki-laki maupun perempuan, semua masak sendiri,” tutur Miftah.
Untuk santri laki-laki, mereka memasak di dapur yang berdekatan dengan asrama, sedangkan untuk santri perempuan mereka memasak di rumah kiai, tempat mereka tinggal. Untuk santri laki-laki jumlahnya ada sekitar 200 orang dan santri perempuan jumlahnya sekitar 100 orang.
“Memang lebih banyak santri laki-laki,” tutur Miftah.
Mempermudah Belajar dan Ibadah
Santri yang mondok di Pesantren Benda Kerep rata-rata sudah lulus tingkat SD. Kini, selain mempelajari beragam kitab, Pesantren Benda Kerep pun sudah menyesuaikan pola pengajaran dengan kurikulum madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah hingga aliyah yang sudah dilakukan sekitar lima tahun yang lalu. Sehingga saat lulus, mereka pun bisa mengantongi ijazah yang dikeluarkan Kementerian Agama dan bisa melanjutkan ke pendidikan umum yang lebih tinggi di luar pesantren.
Untuk masuk ke Pesantren Benda Kerep, para santri hanya membayar uang masuk, di antaranya digunakan untuk makan, dan uang untuk membayar listrik yang jumlahnya kurang dari Rp200 ribu.
“Saya betah di sini,” tutur Syahrozi, 30, seorang santri asal Bengkulu yang sudah melanglang dari satu pesantren ke pesantren lainnya.
Syahrozi mengaku baru setahun menuntut ilmu di Pesantren Benda Kerep. Sebelumnya ia pernah mondok di pesantren yang ada di Tangerang, Bogor, Cianjur, hingga Banten. Syahrozi mengaku menikmati kondisi di setiap pesantren yang ditinggalinya. Ia pun bercita-cita ingin menjadi seperti guru-gurunya yang ada di pesantren. Bahkan saat ini ia pun sudah diberikan kepercayaan oleh sang guru untuk ikut membimbing adik-adiknya, santri-santri di Benda Kerep. “Nggak ada televisi, nggak ada radio, saya tetap betah, tapi listrik sudah masuk di sini,” tutur Syahrozi.
Dengan listrik, Syahrozi mengaku bisa mempelajari kitab di malam hari sambil beristirahat. Bahkan menunaikan salat tahajud di sepertiga malam pun menjadi lebih mudah karena adanya listrik.
“Tinggal cetek, nyalain lampu. Ruangan nggak gelap lagi. Menuju kamar mandi atau tempat wudu pun tidak gelap,” tutur Syahrozi. (UL/E-4)