Gubernur Riau Abdul Wahid tiba di KPK pascaterjaring OTT.(Dok. Antara)
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala daerah. Kali ini, giliran Gubernur Riau Abdul Wahid yang diamankan lembaga antirasuah dalam operasi khusus pada Senin (3/11).
Tertangkapnya sang gubernur menambah panjang daftar kasus korupsi di Provinsi Riau yang selama ini dikenal sebagai salah satu wilayah dengan tingkat korupsi tertinggi di Indonesia. Kabar OTT Gubernur Riau tersebut sontak viral di media sosial dan memicu gelombang kritik terhadap buruknya tata kelola pemerintahan daerah.
Indonesia Corruption Watch (ICW) telah menempatkan Riau di posisi pertama sebagai provinsi terkorup di Indonesia. Temuan itu tertuang dalam laporan bertajuk ‘Hasil Pemantauan Tren Korupsi Tahun 2024’ yang dirilis pada Agustus 2025.
“Tiga provinsi terkorup di Indonesia pada tahun 2024 adalah Riau, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Aceh,” ujar Zararah Azhim, Staf Divisi Hukum dan Investigasi ICW dalam keterangannya Rabu (5/11).
Menurut Zararah, sepanjang 2024, jumlah kasus korupsi di Riau mencapai 35 kasus dengan total kerugian negara Rp266,2 miliar. Dari puluhan kasus itu, aparat penegak hukum telah menetapkan 76 tersangka.
“Riau menempati posisi pertama baik dari jumlah kasus maupun jumlah tersangka. Ini menggambarkan bahwa korupsi di tingkat daerah, khususnya di Riau, sudah sangat sistemik dan meluas,” tegas Zararah.
Kasus Menjamur di Seluruh Daerah
ICW mencatat kasus korupsi di Riau tersebar di seluruh kabupaten dan kota. Kota Pekanbaru menempati posisi teratas dengan tujuh kasus, disusul Kabupaten Kampar dengan empat kasus.
“Kasus korupsi di Riau tidak hanya terjadi di tingkat provinsi, tetapi juga menyebar ke hampir semua kabupaten dan kota. Ini menunjukkan bahwa masalahnya sudah bersifat struktural,” jelas Zararah.
Dari sisi sektor, korupsi paling banyak terjadi di pemerintahan desa, dengan delapan kasus yang melibatkan kepala desa dan aparatur setempat. Sektor perbankan menempati posisi kedua dengan lima kasus.
ICW juga menyoroti sejumlah kasus besar yang terjadi di Riau, termasuk kasus perjalanan dinas fiktif di Sekretariat DPRD Riau yang merugikan keuangan negara hingga Rp130 miliar.
“Kasus ini melibatkan sekitar 19 ribu dokumen perjalanan dinas fiktif. Nilainya sangat besar dan menunjukkan lemahnya sistem pengawasan internal di lembaga legislatif daerah,” kata Zararah.
Selain itu, ICW menemukan berbagai modus korupsi lain, seperti suap senilai Rp215 juta, pungutan liar sebesar Rp7,1 miliar, serta pencucian uang senilai Rp5 miliar.
Zararah menyebut, tingginya angka penindakan kasus korupsi di Riau memang bisa diartikan sebagai indikasi bahwa aparat penegak hukum bekerja aktif.
“Di satu sisi, tingginya angka korupsi di Provinsi Riau dapat dimaknai dengan baiknya kinerja aparat penegak hukum. Namun di sisi lain, ini menandakan bahwa pengelolaan keuangan di sektor pemerintahan daerah masih sangat buruk dan rentan dikorupsi,” ujarnya.
Menurut ICW, maraknya praktik rasuah di Riau dipicu oleh kombinasi faktor struktural dan kultural seperti biaya politik yang tinggi membuat kepala daerah dan DPRD terjebak korup hingga lemahnya pengawasan sistem desentralisasi fiskal.
“Ditambah lagi, sistem desentralisasi fiskal yang tidak diawasi ketat membuka ruang besar untuk penyalahgunaan anggaran, terutama dalam proyek-proyek pengadaan barang dan jasa bernilai besar,” ungkap Zararah.
Selain faktor struktural, Zararah menegaskan bahwa budaya permisif yang memaklumi perilaku korupsi juga menjadi akar persoalan dan memperburuk keadaan.
“Jika masyarakat masih menganggap korupsi sebagai sesuatu yang bisa ditoleransi, maka sulit bagi kita untuk benar-benar memberantasnya,” pungkasnya. (H-3)

5 hours ago
4
















































