
DUA tahun setelah Israel melancarkan operasi militer brutal terhadap Hamas di Jalur Gaza, Palestina, bahkan disebut genosida, situasi kemanusiaan di wilayah itu masih memburuk.
Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mencatat lebih dari 66.100 orang tewas, termasuk sedikitnya 18.430 anak-anak. Hampir seluruh penduduk Gaza telah mengungsi berulang kali, sementara sekitar 80% bangunan rusak atau hancur.
Dalam kondisi tersebut, muncul harapan baru setelah Hamas disebut menyetujui proposal perdamaian yang diajukan Donald Trump. Namun sejumlah pakar menilai jalan menuju gencatan senjata masih panjang dan penuh syarat.
Abraham Accords dan Tekanan ke Israel
Pakar hubungan internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Suzie Sudarman menyoroti dinamika geopolitik yang ikut membentuk arah perdamaian. Ia menyebut kelompok lobi Abraham Shield terus mendorong pemerintah Israel memperluas implementasi Abraham Accords, yakni serangkaian normalisasi diplomatik antara Israel dan sejumlah negara Arab yang ditandatangani pada 2020.
"Trump hanya janji mencegah Israel mencaplok Tepi Barat demi mengakhiri perang Gaza. Dia mengatakan, syarat tersebut harus dipenuhi dulu," kata Prof Suzie dihubungi Media Indonesia, Senin (6/10).
Prof Suzie juga menyampaikan posisi Indonesia tidak berubah. "Indonesia hanya mempertimbangkan mengakui Israel jika Israel sepenuhnya mengakui Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat," sebutnya mengutip pernyataan Kementerian Luar Negeri.
Gencatan Senjata Dibicarakan, Serangan Jalan Terus
Menyikapi pertemuan antara Amerika Serikat, Hamas, dan Israel di Mesir, Suzie menilai situasinya masih kontradiktif karena serangan ke Gaza tetap berlanjut.
Menurut Ketua Pusat Studi Amerika UI itu, tekanan terhadap Hamas memang meningkat dan negara-negara Arab tampak lebih kompak. Namun ada faktor baru yang membedakan momentum saat ini dengan periode sebelumnya yaitu peran Presiden AS Donald Trump.
"Yang beda hanya masa kini ada seorang Presiden Amerika yang menjalankan tindakan menekan Perdana Menteri Israel," ujarnya.
Ia menyebut momen ini sebagai tekanan paling serius dari Washington sejak Presiden Dwight Eisenhower menekan Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion pada 1950-an.
"Semenjak tindakan Presiden Eisenhower yang mengancam David Ben Gurion dengan sanksi politik dan ekonomi belum ada Presiden Amerika yang begitu tangguh dan keras untuk benar-benar mengancam Perdana Menteri Netanyahu," lanjutnya.
Netanyahu sendiri dinilai tengah membutuhkan dukungan Trump untuk mempertahankan kekuasaannya menjelang pemilu di musim semi atau gugur.
Trump Ingin Hentikan Pertempuran, bukan Perang
Meski terlibat aktif dalam perundingan, Trump diyakini lebih berfokus pada penghentian pertempuran jangka pendek dan pembebasan sandera.
"Yang diinginkan oleh Presiden Trump adalah tampil sebagai tokoh yang berhasil dalam menghentikan pertarungan, bukan peperangannya. Yang penting sandera bisa dibebaskan," jelasnya.
Namun tantangan di lapangan masih besar, di antaranya Israel menguasai sekitar 75%-80% wilayah Gaza dalam ofensif sebelumnya. Belum jelas di mana pasukan Israel akan mundur. Pelucutan senjata Hamas atau decommissioned dinilai sangat sulit.
Kemudian terowongan Hamas juga ingin dihancurkan Israel, pemerintah Arab kemungkinan harus menurunkan pasukan stabilisasi atau Arab Stabilization Force, bantuan kemanusiaan, rekonstruksi, sanitasi, akses medis, pasokan air dan pangan untuk dua juta warga Gaza pun belum memiliki skema jelas.
"Kalau harus dinegosiasikan dan perbedaan end state antara Israel dan Hamas terlalu berjarak serta negosiasi-negosiasi tidak dipaksa dikawal akan bisa gagal," ujarnya.
"Tujuannya Trump end the fighting, not end the war. Dan perseteruan akan tetap hadir di antara Israel dan Hamas," tegasnya.
Masa depan Gaza, menurutnya, akan sangat ditentukan oleh pengawalan komunitas internasional.
"Mendekatkan jarak antara Israel dan Hamas harus terus dikawal karena juga syarat pembangunan kembali wilayah rakyat Palestina akan membutuhkan bantuan seluruh dunia. Apakah akan sedemikian mudah?" pungkasnya. (I-2)