Ilustrasi(freepik)
MENJELANG akhir Oktober, banyak negara bersiap memutar jam ke belakang satu jam. Sebuah tradisi daylight saving time (DST) yang sudah berlangsung lebih dari seabad.
Meski dianggap memberi bonus satu jam tidur, penelitian menunjukkan perubahan jam bisa berdampak serius pada kesehatan.
Asal-usul Daylight Saving Time
Daylight saving time pertama kali diterapkan di Inggris pada 1916 saat Perang Dunia I. Untuk menghemat energi dan memaksimalkan waktu kerja di siang hari.
Kini, lebih dari 70 negara masih menerapkannya. Termasuk Amerika Serikat yang mulai resmi menggunakan sistem ini pada 1966. Setiap tahun, jam dimajukan satu jam di musim semi dan dimundurkan satu jam di musim gugur.
Namun, semakin banyak penelitian menunjukkan perubahan jam ini menimbulkan risiko kesehatan yang nyata. Terutama saat jam dimajukan di musim semi, ketika orang kehilangan satu jam waktu tidur.
Sebuah studi di AS tahun 2014 menemukan peningkatan kasus serangan jantung pada Senin setelah perubahan jam musim semi. Fenomena serupa juga terjadi di Swedia, Jerman, Finlandia, Brasil, hingga Meksiko.
Analisis gabungan menunjukkan jumlah serangan jantung meningkat rata-rata 4% setelah pergantian jam ke depan. Selain itu, penelitian juga mencatat peningkatan kasus stroke. Kecelakaan lalu lintas fatal hingga 6% setelah pergantian jam musim semi.
Para ahli menilai penyebab utamanya adalah kurang tidur dan terganggunya ritme sirkadian tubuh. Jam biologis alami manusia yang mengatur waktu tidur dan bangun.
Menurut Prof. David Ray dari University of Oxford, gangguan ini terjadi karena tubuh dipaksa hidup melawan jam biologisnya. “Perbedaan satu jam terlihat kecil, tapi jika terjadi pada puluhan juta orang, dampaknya terhadap kesehatan bisa besar,” ujarnya.
Efek Psikologis: Peningkatan Depresi dan Gangguan Suasana Hati
Selain gangguan fisik, perubahan jam juga berdampak pada kesehatan mental. Penelitian di Denmark menemukan peningkatan 11% kasus depresi berat usai perubahan jam di musim gugur. Sebaliknya, penelitian lain menemukan jam dimajukan di musim semi dapat memperburuk gangguan suasana hati, kecemasan, dan penyalahgunaan zat.
Peneliti Joan Costa-i-Font dari London School of Economics menemukan bahwa meski perubahan jam di musim gugur memberi manfaat kecil. Seperti tambahan 30-40 menit tidur dan sedikit peningkatan energi. Dampak negatif dari musim semi tetap lebih besar.
“Perubahan kecil ini mengganggu rutinitas seluruh populasi, dan efeknya terasa pada kepuasan hidup, kelelahan, serta stres,” ujarnya. Ia memperkirakan pergantian jam dua kali setahun bisa menimbulkan kerugian ekonomi hingga €750 per orang per tahun.
Pada 2019, Parlemen Eropa sempat menyetujui penghapusan daylight saving time. Namun belum ada keputusan akhir karena tiap negara masih berdebat soal waktu standar yang akan dipakai.
Sebagian besar masyarakat lebih menyukai waktu musim panas karena hari terasa lebih panjang. Tapi para ilmuwan justru menilai waktu musim dingin lebih baik bagi kesehatan. Karena lebih selaras dengan jam biologis tubuh.
Meski bisa menikmati satu jam tambahan di akhir Oktober, para ahli mengingatkan perubahan kecil ini memiliki risiko. Seperti kata Prof. Ray, “Bahkan selisih satu jam saja sudah cukup untuk mengganggu ritme alami tubuh, dan berdampak pada kesehatan kita semua.” (BBC/Z-2)

3 hours ago
1
















































