Ilustrasi(ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin)
KRISIS lahan pemakaman di Jakarta dinilai bukan semata karena keterbatasan ruang, melainkan akibat lemahnya pendataan dan pengelolaan makam oleh pemerintah provinsi (Pemprov) DKI.
Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna menilai persoalan ini sudah berlangsung lama dan tidak kunjung terselesaikan karena kurangnya koordinasi antarinstansi.
“Masalah utamanya adalah pendataan yang belum optimal. Banyak lahan-lahan pemakaman lama yang sudah tidak membayar retribusi dan tidak diurus oleh ahli waris. Akibatnya, area seperti itu dimanfaatkan kembali untuk pemakaman baru tanpa penataan yang jelas,” ujar Yayat saat dikonfirmasi, Minggu (26/10).
Ia menekankan bahwa Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta sebagai pengelola Tempat Pemakaman Umum (TPU) harus mengambil peran lebih aktif dalam pembenahan data dan pengawasan. Menurutnya, pendataan akurat sangat penting untuk mengetahui potensi lahan yang masih bisa digunakan kembali.
“Sekarang yang perlu diperkuat adalah tanggung jawab Dinas Pertamanan dan Hutan Kota dalam pengelolaan TPU. Tanpa data yang lengkap dan mutakhir, sulit untuk melakukan perencanaan yang berkelanjutan,” tegasnya.
Yayat menyebutkan bahwa persoalan ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama, bahkan sejak tahun 2010. Ia menyoroti masih adanya praktik pemakaman di TPU yang sudah dinyatakan penuh atau tutup.
“Bahkan beberapa TPU yang sudah ditutup tetap menerima jenazah karena pengelolanya tidak kuat menolak tekanan keluarga. Akibatnya, tata ruang di dalam makam menjadi semrawut,” kata dia.
Ia juga menambahkan, pernah ada upaya penataan melalui program identifikasi jenazah pada masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sekitar tahun 2010–2012. Namun, kebijakan itu tidak berlanjut hingga kini.
“Dulu pernah dilakukan identifikasi jenazah untuk penataan pemakaman, tapi sayangnya program itu berhenti di tengah jalan,” ujarnya.
Selain itu, untuk mengatasi keterbatasan lahan, Yayat mengusulkan penerapan sistem makam tumpang sebanyak dua hingga tiga lapis.
“Kalau bisa disepakati dua atau tiga lapis, itu lebih efisien. Dua lapis saja sudah cukup realistis,” ucapnya.
Lebih lanjut, Yayat menjelaskan masih ada beberapa area pemakaman di pinggiran Jakarta seperti TPU Rorotan yang bisa dikembangkan. Namun, warga cenderung menolak karena lokasinya jauh dari tempat tinggal.
“Warga ingin dimakamkan dekat keluarga. Itulah sebabnya TPU di tengah kota cepat penuh, sedangkan makam di wilayah pinggiran kurang diminati,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kendala sosial dalam pembebasan lahan baru untuk TPU. Menurutnya, warga sering menolak karena khawatir nilai properti menurun dan muncul ketidaknyamanan psikologis.
“Ya mungkin karena ada persoalan kepercayaan, nilai tanahnya turun, atau perasaan tidak nyaman tinggal dekat makam,” ujar Yayat.
Lebih jauh, Yayat menegaskan selama pendataan dan tata kelola makam tidak dibenahi, kebijakan penambahan lahan baru tidak akan menyelesaikan masalah.
“Jakarta butuh kebijakan pemakaman yang berbasis data dan berkelanjutan,” pungkasnya.(H-2)

2 hours ago
2
















































