
PUSAT Studi Strategis dan Internasional (CSIS) menilai pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tengah memperkuat pola kekuasaan berbasis militerisasi dan resentralisasi negara melalui kebijakan ekspansi pertahanan dan intervensi militer di ruang sipil.
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Nicky Fahrizal menjelaskan hingga Agustus 2025, pemerintah telah mengesahkan 6 Kodam baru, dan pada 2026 mendatang 5 Kodam tambahan akan dibentuk di NTT, Papua Tengah, Papua Barat Daya, Yogyakarta, dan Maluku Utara.
“Kalau kita lihat, jumlah Kodam ini hampir menyamai jumlah Polda. Ini yang saya sebut sebagai normalisasi kedaruratan ekspansi struktur militer yang dibingkai sebagai kebutuhan stabilitas,” kata Nicky dalam Media Briefing bertajuk Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran’ di Jakarta, Rabu (22/10).
Ia menjelaskan, penambahan struktur militer tidak hanya berhenti pada Kodam. Berdasarkan Perpres Nomor 84 Tahun 2025 tentang Susunan Organisasi TNI, jumlah perwira tinggi bertambah dari 371 menjadi 420 orang, termasuk pembentukan enam grup Kopassus baru yang tersebar di Banten, Surakarta, Riau, IKN, Kendari, dan Timika (Papua Tengah).
“Penambahan Kodam dan Kopassus ini merefleksikan logika bahwa keamanan dan stabilitas kini menjadi prioritas utama pemerintahan Prabowo,” jelasnya.
Nicky menilai fenomena ini menandai semakin kuatnya keterlibatan militer dalam ranah sipil, mulai dari ketahanan pangan, pembangunan infrastruktur, hingga pendidikan.
“Dalam observasi kami, militer kini masuk dalam tiga area sipil yaitu ketahanan pangan, infrastruktur, dan pendidikan,” ujarnya.
Menurutnya, program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih juga memperlihatkan peran militer dalam distribusi sumber daya dan pelaksanaan kegiatan pembangunan.
“Batalyon teritorial yang dibentuk bahkan dirancang bukan hanya untuk bertempur, tapi juga untuk mendukung pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pertanian. Targetnya 500 batalyon baru dalam lima tahun,” ungkap Nicky.
Normalisasi Kedaruratan dan Erosi Partisipasi Publik
CSIS juga mengkritisi munculnya pola kebijakan yang disebut sebagai ‘normalisasi kedaruratan yaitu sebuah paradigma pemerintahan yang menggunakan dalih efisiensi dan stabilitas untuk membenarkan sentralisasi kekuasaan dan percepatan legislasi tanpa partisipasi publik.
“Dalam satu tahun terakhir, banyak perumusan kebijakan publik dilakukan secara kilat tanpa perencanaan matang. Narasi efisiensi dan kedaulatan digunakan, tapi dampaknya justru menurunkan partisipasi publik substantif,” kata Nicky.
Ia menambahkan, pola ini berisiko menggeser praktik demokrasi Indonesia dari demokrasi deliberatif ke demokrasi prosedural yang dangkal.
“Partisipasi publik dikorbankan demi kecepatan kebijakan. Ini yang kami sebut normalisasi kedaruratan negara hadir tapi sekaligus menutup ruang kontrol warga,” tegasnya.
CSIS memperingatkan bahwa kombinasi antara normalisasi kedaruratan dan militerisasi sipil berpotensi menciptakan rezim yang otoriter secara struktural.
“Ketika militerisasi ruang sipil dilegalkan, batas antara sipil dan militer kabur. Logika publik digantikan oleh logika keamanan dan hierarki komando,” ujar Nicky.
Ia menegaskan, pola ini bisa melahirkan kekuasaan tanpa batas, mengikis mekanisme kontrol legislatif, serta memicu pelanggaran HAM secara terinstitusionalisasi.
“Normalisasi kedaruratan ini bisa menciptakan otoritarianisme baru negara yang merasa sah membatasi kebebasan atas nama stabilitas,” tandasnya. (Dev/M-3)