Ilustrasi(freepik)
BAGI Lisette Lopez-Rose, masa setelah melahirkan yang seharusnya penuh kebahagiaan justru berubah menjadi masa kelam. Ia mengalami serangan panik dan perasaan cemas berlebihan terhadap bayinya. “Sekitar dua bulan setelah mulai minum obat, saya merasa seperti keluar dari lubang gelap dan mulai melihat cahaya lagi,” ujarnya. Kini, Lopez-Rose bekerja di Postpartum Support International, membantu ibu-ibu baru menemukan dukungan daring.
Kisah Lopez-Rose mencerminkan realitas yang dialami banyak ibu. Sekitar satu dari delapan perempuan di Amerika Serikat mengalami depresi pascamelahirkan, salah satu komplikasi paling umum setelah persalinan. Kondisi ini biasanya muncul beberapa minggu setelah melahirkan, ketika hormon estrogen dan progesteron turun drastis.
Kini, sains menawarkan harapan baru. Sebuah perusahaan rintisan di San Diego akan meluncurkan tes darah pertama di dunia yang dapat memprediksi risiko depresi pascamelahirkan dengan akurasi lebih dari 80 persen. Produk bernama myLuma ini menggunakan biomarker, molekul dalam darah, untuk mendeteksi perubahan biologis yang berkaitan dengan gangguan kejiwaan.
Tes tersebut dikembangkan Dionysus Health, dengan riset yang dipimpin oleh psikiater reproduktif Jennifer Payne dari University of Virginia dan epigenetikus Zachary Kaminsky dari University of Ottawa. Payne menjelaskan, “Jika ada tes darah, itu membuat psikiatri lebih mudah dipahami sebagai hal biologis, bukan sekadar sesuatu yang ‘di kepala seseorang’.”
Penelitian mereka menemukan dua gen sensitif terhadap estrogen, HP1BP3 dan TTC9B, yang menunjukkan pola metilasi khas pada perempuan yang mengalami depresi pascamelahirkan. Pola ini bisa terdeteksi bahkan sejak trimester pertama kehamilan.
Uji coba besar menunjukkan hasil yang konsisten, pola gen tersebut mampu memprediksi depresi pascamelahirkan dengan tingkat akurasi di atas 80 persen. Tes myLuma dijadwalkan tersedia mulai Januari 2026 di beberapa klinik di Florida, Texas, dan California. Meski belum mendapat persetujuan penuh dari FDA, dokter sudah dapat menggunakannya untuk membantu keputusan klinis.
Selain faktor genetik, para ilmuwan juga meneliti peran hormon dan neurosteroid seperti allopregnanolone, zat alami yang menenangkan otak selama kehamilan namun turun drastis setelah melahirkan. Versi sintetisnya, brexanolone, menjadi obat pertama yang disetujui FDA untuk depresi pascamelahirkan pada 2019, diikuti versi oral zuranolone pada 2023.
Payne berharap inovasi tes darah ini akan membuka jalan menuju pencegahan dini. “Ketersediaan tes seperti ini memberi kita kesempatan untuk bertindak sebelum seseorang benar-benar menderita,” katanya.
Bagi Lopez-Rose, teknologi seperti ini bisa menjadi penyelamat. “Kalau saya tahu sebelumnya, mungkin saya bisa lebih siap menghadapi masa-masa itu,” ujarnya. Kini, ia dan putrinya hidup bahagia, sebuah kisah pemulihan yang memberi harapan bagi banyak ibu lain di seluruh dunia. (Live Science/Z-2)

13 hours ago
1
















































