
SATU tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, sejumlah program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, dan Koperasi Merah Putih masih menghadapi tantangan serius, seperti tumpang tindih kelembagaan hingga risiko tekanan fiskal.
Wakil Direktur Bidang Operasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Medelina K Hendytio, menilai arah kebijakan Prabowo-Gibran cenderung berpola neo-developmentalisme, di mana negara kembali mengambil peran dominan dalam pembangunan.
“Kami melihat program-program ini sebagai hasil kombinasi antara idealisme nasionalis dengan pragmatisme politik dan intuisi militer. Ini kebijakan populis yang berorientasi pada kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua, tapi karakternya sentralistik dan top-down,” jelasnya dalam Media Briefing ‘Satu Tahun Pemerintahan Presiden Prabowo’ di Jakarta, Rabu (22/10).
Menurut Medelina, pendekatan itu menegaskan keinginan negara untuk tidak sekadar menjadi fasilitator, tetapi juga operator utama dalam pembangunan nasional.
“Negara ingin hadir secara nyata. Ia berperan bukan hanya sebagai regulator, tapi juga operator yang aktif mengoordinasikan transformasi struktural untuk mengatasi kegagalan pasar dan memperkuat koordinasi kebijakan publik,” tambahnya.
Kendati idealismenya kuat, Medelina menilai pelaksanaan program MBG, Sekolah Rakyat, dan Koperasi Merah Putih belum sepenuhnya sinkron dengan struktur kelembagaan yang ada.
“Kita melihat ada banyak saluran baru di luar kementerian yang sudah ada. Misalnya, mengapa program Sekolah Rakyat melewati Kementerian Sosial dan bukan Kementerian Pendidikan? Padahal, kualitas pendidikan di sekolah-sekolah Kemendiknas saja masih banyak persoalan,” tuturnya.
Ia juga mempertanyakan bagaimana koordinasi antarlembaga dalam kebijakan ekonomi rakyat, terutama antara Koperasi Merah Putih dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
“Perlu dipikirkan bagaimana program-program baru ini disinkronkan dengan kelembagaan yang sudah ada agar tidak terjadi tumpang tindih,” kata Medelina.
Menurutnya, masalah kelembagaan ini mencerminkan kelemahan dalam tata kelola kebijakan yang cenderung menonjolkan aspek kuantitas ketimbang mutu.
“Kisahnya seperti biasa: jumlah dulu yang besar, mutunya belakangan. Padahal, seharusnya jaminan mutu disiapkan lewat standar operasional yang jelas, baru kemudian diperluas skalanya,” ujarnya menegaskan.
RISIKO FISKAL MENGINTAI
CSIS mencatat bahwa salah satu risiko paling serius dari program sosial ekonomi berskala besar ini adalah beban fiskal yang meningkat drastis.
“Ada ambisi sosial yang besar, tapi juga risiko terhadap disiplin biaya. Misalnya, untuk program Makan Bergizi Gratis saja, anggarannya tahun depan diperkirakan lebih dari Rp300 triliun, sebagian diambil dari dana pendidikan,” ungkap Medelina.
Ia menambahkan, hasil riset CSIS di berbagai daerah menunjukkan bahwa pemerintah daerah sudah mulai khawatir tidak bisa membiayai program-program baru tersebut.
“Banyak pemerintah daerah menyampaikan mereka tidak sanggup jika anggaran pendidikan harus dipakai untuk membiayai MBG, Sekolah Rakyat, atau Koperasi Merah Putih. Ini yang kami sebut sebagai crowding out ruang fiskal,” jelasnya.
Selain persoalan fiskal, CSIS juga menyoroti jarak koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah yang kerap kali tidak selaras dan masih terlalu jauh. Hal itu lantaran sifat kebijakan yang top-down sehingga banyak daerah tidak siap menjalankan program-program pusat secara efektif.
Lebih jauh, CSIS juga menekankan lemahnya implementasi kebijakan yang tidak memiliki landasan hukum karena sejumlah regulasi pendukung program disusun belakangan.
“Persoalannya, banyak aturan main yang baru dibuat setelah program dijalankan. Akibatnya, tidak ada standar dan kriteria yang jelas untuk dijadikan acuan bersama,” katanya. (Dev/P-2)