Salat Nisfu Syaban 100 Rakaat, Bidah atau Sunnah? / Foto: dok. Freepik
Jakarta, Insertlive -
Nisfu Syaban umumnya jatuh di tanggal 15 Syaban. Pada tahun 2025, Nisfu Syaban terjadi di tanggal 14 Februari.
Nisfu Syaban merupakan momen yang istimewa di bulan Syaban. Para umat muslim dianjurkan untuk memanfaatkan momen ini dengan perbanyak ibadah, karena di momen tersebut Allah akan memberikan ampun. Hal tersebut sebagaimana telah disebutkan dalam hadis berikut.
"Sesungguhnya Allah memandang hamba-Nya pada malam Nisfu Syaban dan mengampuni mereka kecuali yang musrik dan pendendam." (Hadis shahih riwayat Ibnu Majah).
Ada satu amalan Nisfu Syaban yang sangat populer di kalangan umat muslim yaitu Salat Nisfu Syaban. Salat sunnah yang dikerjakan di malam Nisfu Syaban dan dilakukan dengan 100 rakaat.
Namun amalan ini menuai pro-kontra di kalangan umat muslim. Lantaran dalil yang dirujuk tidak kuat dan tidak banyak ulama yang mempertahankan pendapat atas kebolehannya. Lalu Salat Nisfu Syaban itu bidah atau sunnah?
Apa Itu Bidah?
Bidah secara bahasa yaitu bida' yang artinya mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Sedangkan umumnya bidah adalah sesuatu yang diadakan ulama yang tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Hal ini juga merujuk dalam buku Tunjuk Ajar Legalitas Bid'ah (2018) yang ditulis oleh Dr HM Ridwan Hasbi, Lc, MA.
Bidah menjadi masalah yang menarik untuk dikaji karena ada satu hadis yang menyebut bahwa bidah itu sesat hingga menyebabkan masuk neraka. Berikut hadis yang dimaksud,
كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار حديث
Artinya: "Setiap bidah itu sesat dan setiap kesesatan masuk neraka".
Makna dari hadis tersebut diperjelas oleh Kiai Abdul Basith dalam acara pengajian rutin Ahad Kliwon Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Pondok Pesantren Al Hikmah Bandar Lampung di Aula Utama Pesantren, Kedaton, Ahad (14/5/2023) yang dikutip dari lampung.nu.or.id.
"Justru kata kullun bisa bermakna sebagian. Hal ini sesuai dengan kaidah ilmu mantik, bahwa adakalanya kata kullun bermakna sebagian," ujarnya.
Maka makna bidah disini bisa jadi sebagian saja sesatnya jika kata kullu diartikan sebagian bukan semua seperti kebanyakan.
Beberapa ulama telah menjelaskan jenis-jenis bidah dalam Islam.
Menteri Agama Nasaruddin Umar sekaligus guru penulis di UIN Syarif Hidayatullah membagi jenis bidah ke beberapa poin berdasarkan pandangan ulama.
Menurut Imam Syafii ada dua yaitu bid'ah mahmudah dan bid'ah madzmumah. Imam Syafii juga menjelaskan perbedaan dari keduanya kalau bidah mahmudah (terpuji) itu hukumnya sunah untuk dikerjakan namun tidak dengan bid'ah madzmumah (tercela).
اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
Lalu Nasarudidin Umar juga menyampaikan pendapat 'Izz Abd al-Salam, ia membagi bid'ah itu ke dalam lima bagian, yaitu: 1. Bid'ah Wajibah (bid'ah wajib), 2. Bid'ah Muharramah (bid'ah yang diharamkan), 3. Bid'ah Mandubah (bid'ah yang disunatkan), 4. Bid'ah Makruhah (bid'ah makruh) dan 5. Bid'ah Mubahah (bid'ah yang diharuskan).
Terakhir, ada Bidah Munkarah. Bidah yang tidak ada dasar pada syariat dan wajib untuk ditinggalkan. Sebagaimana dikutip dari kitab Fatwa Nur Darbi.
Apakah Salat Malam Nisfu Syaban 100 Rakaat Bidah atau Sunnah?
Perintah salat sunah Nisfu Syaban muncul atas dasar ucapan Imam Al Ghazali di Kitab Ihya Ulumudin. Ia menganjurkan salat tersebut dengan merujuk hadis berikut.
Artinya, "Diriwayatkan dari Al-Hasan. Dikatakannya, 'Telah meriwayatkan kepadaku tiga puluh sahabat Nabi saw. 'Sungguh orang yang menunaikan shalat ini pada malam ini (nisfu Sya'ban), maka Allah akan memandangnya sebanyak tujuh puluh kali dan setiap pandangan Dia akan memenuhi tujuh puluh kebutuhan. Sekurang-kurangnya kebutuhan adalah ampunan."
Namun, perkataan Imam Al Ghazali ini ditentang dengan Imam An Nawawi.
(الْعَاشِرَةُ) الصَّلَاةُ الْمَعْرُوفَةُ بصلاة الرغائب وهي ثنتى عَشْرَةَ رَكْعَةً تُصَلَّى بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لَيْلَةَ أَوَّلِ جُمُعَةٍ فِي رَجَبٍ وَصَلَاةُ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ مِائَةُ رَكْعَةٍ وَهَاتَانِ الصَّلَاتَانِ بِدْعَتَانِ وَمُنْكَرَاتَانِ قَبِيحَتَانِ وَلَا يُغْتَرُّ بِذِكْرِ هِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَإِحْيَاءِ عُلُومِ الدِّينِ
Artinya, "Kesepuluh adalah shalat yang dikenal dengan Shalat Ar-Ragha'ib, yaitu 12 rakaat yang dilaksanakan antara maghrib dan isya pada malam Jumat pertama bulan Rajab dan shalat malam nisfu Sya'ban sebanyak 100 rakaat. Dua shalat ini adalah bid'ah, munkar, dan buruk. Jangan tertipu dengan penyebutan dua shalat dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya 'Ulumiddin," (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, jilid 4, hal. 56).
Bidah Munkar yang dimaksud Imam Nawawi adalah bidah munkarah seperti yang dijelaskan Abdul Aziz dalam buku berikut.
(وبدعة لا أصل له في الشرع، بل يجب تركه)
Artinya: "Bidah Munkarah adalah bidah yang tidak ada asalnya dalam syariat dan wajib ditinggalkan.
يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا لِاثْنَيْنِ: مُشَاحِنٍ، وَقَاتِلِ نَفْسٍ
Artinya, "Allah senantiasa memperhatikan makhluk-Nya pada malam nisfu Sya'ban. Maka Dia akan mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua: hamba yang saling bermusuhan dan yang membunuh," (HR. Ahmad).
Dari hadis ini, menghidupkan amalan sunnah sangat dibolehkan. Namun bukan mengerjakan salat sunah 100 rakaat yang telah ditentang Imam An Nawawi karena tergolong bidah munkarah dan wajib ditingglkan.
(kpr/kpr)
Tonton juga video berikut: