
SETARA Institute menyatakan rencana penyusunan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI harus dipersoalkan. Sebab, perubahan beleid itu secara perlahan dapat menghidupkan praktik dwifungsi ABRI (TNI).
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan menjelaskan jika revisi UU TNI membuka keran untuk memperpanjang masa aktif jabatan TNI pada instansi layaknya Aparatur Sipil Negara (ASN), maka sama saja dengan menghidupkan praktik dwi fungsi TNI meskipun tak ada pencantuman nomenklatur secara tersurat.
“Nomenklatur dwifungsi memang tidak muncul dalam revisi undang-undang TNI jika bicara soal perpanjangan masa jabatan. Tetapi yang paling penting untuk dikritisi apakah sebenarnya orientasi utama revisi itu membuka peluang untuk memperpanjang masa aktif TNI menjadi 65 tahun layaknya jabatan-jabatan sipil seperti ASN?,” katanya kepada Media Indonesia melalui sambungan telepon pada Selasa (18/2).
Halili mengatakan bahwa revisi UU TNI justru berpotensi melegitimasi perluasan peran militer di ranah sipil untuk terus berlanjut. Ia lebih lanjut menyoroti pasal pasal 53 UU TNI yang mengatur usia pensiun anggota TNI, di mana DPR menambah usia masa dinas yang semula 60 tahun menjadi 65,
“Artinya prajurit yang menduduki jabatan fungsional bisa berdinas hingga usia 65 tahun. Ini justru setara dengan jabatan sipil, padahal ada alasan rasional kenapa TNI harus 60 tahun sebab dia adalaj pertahanan negara beda dengan ASN sipil yang tidak menggunakan senjata. Perpanjangan dan masa jabatan ini artinya sudah masuk dalam praktik dwi fungsi TNI dalam bentuk yang soft tanpa harus menyebut sebagai tersurat, seperti tidak ada tapi secara perlahan ditumbuhkan,” tuturnya.
Selain itu dengan diangkatnya Perwira Tinggi TNI AD, Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Bulog, dimana posisi tersebut bukanlah salah satu dari jabatan yang bisa diisi oleh prajurit aktif. Jika hal ini dibiarkan lalu diperkuat dengan perpanjangan masa jabatan, Halili menegaskan hal ini akan mengembalikan Dwifungsi TNI seperti Masa Orde Baru.
“Terlihat jabatan-jabatan sipil kemudian menjadi arena yang diekspansi oleh TNI aktif, kalau misalnya masa pensiunnya itu ditambah 5 tahun maka TNI akan dengan gampang diletakkan oleh presiden pada jabatan-jabatan sipil pada saat masih aktif, itu sebenarnya salah satu bentuk nyata dari dwi fungsi TNI tanpa harus disebut sebagai dwi fungsi,” ungkapnya.
Menurut Halili, partai politik dan para politisi seharusnya bisa berperan sebagai representasi politik publik dan mempertegas bahwa sektor-sektor sipil tidak perlu diisi oleh militer. Selain itu, edukasi masyarakat untuk mendukung de-militerisme perlu digencarkan.
“Penting untuk para politisi memiliki perspektif bahwa dwifungsi TNI tidak melulu harus dilembagakan dalam sebuah nomenklatur yang namanya dwi fungsi, tapi harus dilihat dari dua aspek yaitu dalam bentuk struktural dan kultural. Tentu bentuk struktural melalui pembentukan pasal-pasal dwi fungsi TNI dalam UU hanya dapat dicegah oleh para politisi jika bicara dalam kerangka demokrasi,” tegasnya.
Sebelumnya, DPR membantah hidupkan dwi fungsi Abri melalui revisi UU No.34 tentang TNI. DPR juga mengatakan bahwa revisi UU tersebut bukan untuk menghidupkan dwifungsi TNI melainkan merevisi masa pensiun prajurit TNI sebab, hanya beberapa kementerian dan lembaga yang membolehkan prajurit TNI menjabat. (Dev/M-3)