
BEBERAPA waktu lalu, dalam diskusi dengan warga sekolah sebuah SMA di Banten, kepala sekolah menyampaikan keresahannya. Beliau resah karena ketika di sekolah para guru berusaha sekuat tenaga untuk mengajarkan karakter baik sehingga siswa-siswi mereka bisa menjadi manusia berakhlak mulia. Namun, di luar sana, pihak-pihak yang memiliki kuasa malah mempertontonkan perilaku tidak sejalan dengan akhlak mulia.
Keresahan yang dirasakan kepala sekolah tadi bukanlah sesuatu yang dialaminya sendiri. Sebelumnya, ketika saya bertemu dengan warga sekolah di Maluku dan Aceh, hal serupa juga mengemuka. Orangtua siswa pun merasakan hal yang sama. Seorang ibu menyampaikan keresahannya karena contoh-contoh tak baik itu dengan mudah dilihat anak-anak mereka melalui media sosial.
Kita masih ingat insiden pejabat dinas pendidikan menendang siswa dan meremehkan hak mereka untuk berbicara. Selain itu, berbagai kasus korupsi dengan nilai sangat besar dilakukan pihak-pihak berwenang di perusahaan yang seharusnya berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Bahkan, pemimpin tertinggi negara pernah mengeluarkan pernyataan tidak pantas diucapkan dan didengar publik. Mereka yang seharusnya menjadi teladan justru memperlihatkan bahwa kuasa dapat digunakan sesuka hati demi kepentingan pribadi atau kelompok tanpa mempertimbangkan dampak negatif bagi masyarakat luas.
Apa akibat dari kejadian di atas? Orangtua dan guru merasa tak berdaya. Mereka merasa putus asa dan menganggap tugas mulia yang mereka lakukan untuk membentuk manusia berakhlak mulia sepertinya sia-sia. Masih adakah kesempatan untuk memperbaiki situasi ini? Apakah orangtua dan guru masih bisa berkontribusi memperbaiki kerusakan yang telah dibuat penguasa? Jika ya, apa yang perlu dilakukan?
GODAAN KUASA
Kuasa memegang peran terbesar pada terjadinya situasi di Indonesia saat ini. Kuasa ialah kemampuan untuk memengaruhi, mengontrol sumber daya, juga menentukan hasil. Ketika seseorang memiliki kuasa, dia bisa melakukan banyak hal dengan tanpa banyak hambatan. Namun, "Power tends to corrupt," kata Lord John Emerich Edward Dalberg-Acton (1887).
Kekuasaan cenderung disalahgunakan, begitu kira-kira terjemahannya. Kuasa yang besar sering membuat orang lupa diri dan muncul godaan untuk menyalahgunakannya. Ketika pihak yang memiliki kuasa tidak dapat dikontrol dan menimbulkan kekuasaan absolut, dia bisa melakukan apa pun yang dia mau dan bisa jadi merugikan banyak orang.
Walaupun perkataan Lord Acton di atas disampaikan dalam konteks kuasa negara, sebenarnya praktiknya bisa kita temukan juga di level yang lebih rendah. Di sebuah keluarga, kuasa terbesar biasanya dimiliki kepala keluarga.
Di level anak, biasanya anak sulung yang memiliki kuasa lebih besar ketimbang anak-anak lainnya. Praktik penyalahgunaan kuasa dalam keluarga bisa berupa orangtua yang memaksa anak untuk kuliah di jurusan pilihan orangtua dan tidak mau mempertimbangkan pilihan anak.
Di sekolah, kepala sekolah ialah pemegang kuasa tertinggi. Namun, tidak hanya itu, kuasa juga bisa ditemukan pada siswa. Misalnya, siswa kelas tinggi dianggap memiliki kuasa karena senioritasnya atau siswa dengan kemampuan akademik lebih baik bisa memiliki kuasa lebih besar ketika memengaruhi keputusan di kelas.
Penyalahgunaan kuasa di sekolah bisa dilihat dalam aksi perundungan. Perundungan dilakukan siswa berkuasa besar yang kuasanya bisa didapatkan dari keunggulan fisiknya yang lebih kuat atau menarik, latar belakang keluarga yang mapan, atau juga dari prestasi akademiknya yang baik.
Mereka menggunakan kuasa mereka untuk mengganggu teman yang lebih lemah, bahkan juga menggalang dukungan dari teman-temannya untuk ikut melakukan perundungan. Dalam jangka panjang, ketidakmampuan mengelola kekuasaan sejak usia dini dapat menjadi faktor yang memicu terbentuknya individu dewasa yang cenderung menyalahgunakan wewenang yang mereka miliki.
KUASA DAN EMPATI
Anak dan siswa perlu belajar mengelola kuasa. Mereka perlu menyadari kuasa yang mereka miliki dalam bentuk apa pun dan mereka wajib berlatih cara menggunakan kuasa yang mereka miliki dengan bijak sejak dini. Kedua hal itu penting dilakukan karena mereka akan menjadi pemimpin pada masa depan, mulai keluarga hingga pemerintahan, baik lokal, nasional, maupun global.
Daniel Goleman (2006) menyatakan bahwa pemimpin efektif ialah pemimpin yang memiliki kecerdasan sosial, yakni pemimpin yang mampu memahami orang lain, mengelola emosi mereka, dan membangun hubungan baik dengan mereka. Dengan empati, pemimpin bisa menempatkan diri dengan baik dan menyadari bahwa kuasa yang ia miliki jika tidak digunakan dengan bijak akan merugikan orang-orang yang ia pimpin.
Untuk menanamkan penggunaan kuasa yang dilandasi empati, orangtua dan guru dapat memanfaatkan berbagai aktivitas sehari-hari. Beberapa di antaranya ialah kunjungan lapangan, permainan peran, serta menonton film. Salah satu aspek penting dalam kegiatan tersebut ialah adanya diskusi reflektif. Melalui diskusi, anak atau siswa diajak untuk mengenali jenis kekuasaan yang mereka miliki atau yang dimiliki orang lain, menganalisis secara kritis bagaimana kekuasaan digunakan dalam lingkungan sekitar, mengevaluasi cara mereka sendiri dalam menggunakan kekuasaan, serta merancang langkah konkret untuk menerapkan penggunaan kekuasaan yang lebih bijaksana.
KERJA BERSAMA
Kerja mulia mendidik anak dan siswa untuk bisa mengelola kuasa yang mereka miliki dengan bijak tentu membutuhkan waktu panjang. Apalagi ketika kita mengajarkannya di tengah situasi nyata yang tidak ideal karena penuh praktik penyalahgunaan kuasa yang ditunjukkan penguasa. Akan tetapi, kerja itu harus dilakukan dan terus dilakukan. Jika tidak, penyalahgunaan kuasa akan terlihat sebagai hal yang lumrah dan akhirnya menjadi budaya.
Yang perlu disadari orangtua dan guru ialah bahwa mereka tidak sendiri. Keprihatinan dan kekhawatiran yang mereka rasakan juga dirasakan banyak orangtua dan guru yang pikiran dan hatinya masih waras. Di seluruh penjuru sebenarnya sedang terjadi kerja mulia orangtua dan guru yang menginginkan anak atau siswa mereka menjadi orang yang kelak mampu menjadi pemimpin dan penguasa bijak. Kita sebenarnya bersama. Karena itu, mari kita, sebagai orangtua, pendidik, dan masyarakat, bersama-sama memastikan bahwa anak-anak kita tumbuh dengan kesadaran akan kuasa dan empati. Hanya dengan begitu, kita bisa membangun generasi pemimpin yang lebih baik bagi bangsa ini.