
NERACA perdagangan Indonesia masih resilien di tengah pelemahan ekonomi global. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ssebesar US$3,45 miliar atau senilai Rp55,81 triliun (kurs Rp16.212) pada Januari 2025.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada bulan sebelumnya dan bulan yang sama pada 2024. Nilai tersebut memperpanjang capaian surplus neraca perdagangan Indonesia selama 57 bulan secara berturut-turut sejak Mei 2020.
"Neraca perdagangan Indonesia masih menunjukkan resiliensinya dengan tetap mencatatkan surplus di tengah perdagangan global yang masih mengalami pelemahan," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam keterangan resmi, Senin (17/2).
Ia menjelaskan surplus perdagangan ini antara lain didorong oleh upaya peningkatan nilai tambah produk dan diversifikasi perdagangan, sebagaimana terlihat pada kontribusi sektor industri pengolahan, pertanian, dan perkebunan yang mengalami peningkatan terhadap neraca perdagangan.
Ekspor Indonesia pada Januari 2025 tercatat sebesar US$21,45 miliar, meningkat sebesar 4,68% secara tahunan atau year on year (yoy). Peningkatan ekspor didorong oleh kenaikan ekspor nonmigas di tengah kontraksi ekspor migas.
Secara sektoral, lanjut Febrio, ekspor sektor pertanian dan sektor industri pengolahan tercatat tumbuh masing-masing sebesar 45,46% yoy dan 14,02% yoy. Sementara itu, kinerja ekspor tiga komoditas utama yaitu minyak kelapa sawit mentah atau CPO, batu bara, serta besi dan baja mengalami kontraksi.
Dari sisi negara tujuan ekspor, Tiongkok masih menjadi tujuan pasar ekspor nonmigas utama Indonesia dengan share sebesar 22,40% disusul Amerika Serikat (11,48%) dan India (6,02%). Sementara ekspor ke ASEAN dan Uni Eropa masing-masing mencapai 20,07% dan 6,42%.
Sementara itu, impor Indonesia pada Januari 2025 tercatat sebesar US$18,00 miliar, terkontraksi 2,67% (yoy). Penurunan impor disebabkan oleh kontraksi impor migas dan nonmigas. Dari sisi penggunaan, impor barang modal tercatat tumbuh, tetapi impor barang konsumsi dan impor bahan baku penolong tercatat mengalami kontraksi.
Dari sisi negara asal impor, Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat mendominasi dengan kontribusi masing-masing sebesar 40,86%, 7,42%, dan 4,92%. Sementara impor dari ASEAN memberikan share 15,41% dan dari Uni Eropa sebesar 5,60%.
Febrio menegaskan pemerintah akan terus memantau dampak perlambatan global terhadap ekspor nasional serta menyiapkan langkah antisipasi melalui dorongan terhadap keberlanjutan hilirisasi sumber daya alam. "Juga melakukan peningkatan daya saing produk ekspor nasional serta diversifikasi mitra dagang utama," pungkasnya. (I-2)