
KEPALA Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai penurunan Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Indonesia ke level 46,9 pada Juni 2025 merupakan sinyal negatif bagi investor. Sepanjang 2025 sektor manufaktur Indonesia terus menunjukkan kondisi kontraksi. Pada April 2025, PMI turun tajam ke level 46,7.
Angka tersebut mencerminkan melemahnya permintaan, stagnasi produksi, dan menurunnya optimisme pelaku industri, yang pada akhirnya berdampak langsung terhadap persepsi investor terhadap sektor manufaktur nasional.
"Bagi investor, khususnya yang berorientasi jangka menengah hingga panjang, tren kontraksi ini menimbulkan kekhawatiran serius," ujar Rizal kepada Media Indonesia, Rabu (2/6).
Keresahan tersebut, lanjutnya, menyangkut potensi return yang rendah, risiko operasional yang meningkat, serta belum terselesaikannya berbagai hambatan struktural. Seperti tingginya biaya logistik, ketidakpastian hukum, dan lemahnya integrasi rantai pasok, membuat sektor ini kian kurang menarik.
Rizal menegaskan penurunan PMI ini juga menjadi penanda bahwa sektor industri pengolahan tengah memasuki fase kontraksi yang bersifat sistemik. Meski angka 46,9 bukanlah yang terendah secara historis, posisi tersebut menjadi indikator bahwa tekanan yang terjadi bukan lagi sekadar fenomena siklikal, melainkan mencerminkan stagnasi struktural yang lebih dalam.
"Pelemahan ini menunjukkan lemahnya permintaan domestik, terbatasnya diversifikasi basis produksi, serta belum optimalnya efektivitas kebijakan hilirisasi yang selama ini dikedepankan pemerintah," tegasnya.
Ke depan, Rizal meramalkan prospek industri manufaktur nasional dipenuhi tantangan berat, terutama jika tidak diiringi dengan penyesuaian strategi yang lebih progresif dan berbasis peningkatan produktivitas. Dibutuhkan reorientasi kebijakan yang tidak semata-mata berfokus pada insentif fiskal jangka pendek, melainkan juga menyasar penguatan kapasitas teknologi, efisiensi logistik, serta integrasi yang lebih kuat dalam rantai pasok global.
Menurutnya, tanpa perubahan paradigma menuju transformasi struktural, sektor manufaktur dikhawatirkan akan terus bergerak dalam lintasan bernilai tambah rendah.
"Serta, menghadapi risiko premature deindustrialization yang makin dalam," pungkasnya.
Terpisah, Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arief menerangkan penurunan PMI manufaktur RI dipicu oleh dua faktor utama. Pertama, pelaku industri masih menanti kepastian kebijakan pemerintah yang pro terhadap dunia usaha. Kedua, melemahnya permintaan pasar, baik ekspor maupun domestik, ditambah penurunan daya beli masyarakat.
Selain faktor kebijakan, Febri menerangkan penurunan PMI juga dipengaruhi pelemahan permintaan di pasar ekspor dan domestik. Perang dagang global yang sempat mereda masih menyisakan dampak pada pasar ekspor utama Indonesia.
"Akibatnya, sebagian industri mengalihkan penjualan ke pasar domestik yang juga tengah menghadapi tekanan," katanya.
Daya beli masyarakat dalam negeri pun melemah. Masyarakat kini lebih memprioritaskan belanja untuk kebutuhan pokok. Kalangan menengah atas pun cenderung memilih menabung atau berinvestasi, alih-alih mengonsumsi produk manufaktur, khususnya produk sekunder dan tersier.
Ekonom S&P Global Market Intelligence Usamah Bhatti mencatat kondisi sektor manufaktur Indonesia semakin melemah pada pertengahan 2025. Lemahnya permintaan pasar menyebabkan penurunan produksi dan penjualan, terutama dari pasar domestik. (E-4)