Ilustrasi(Dok.MI)
Koalisi masyarakat sipil untuk sektor keamanan mengajukan gugatan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Mereka menilai sejumlah ketentuan dalam revisi undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi memundurkan reformasi sektor keamanan yang telah diperjuangkan sejak era reformasi.
“Pasal-pasal yang diuji ini inkonstitusional karena memperkuat kembali kewenangan TNI dalam urusan sipil, memperluas ruang operasi militer selain perang (OMSP), dan memperpanjang usia pensiun perwira tinggi yang justru berpotensi mengembalikan dwifungsi militer,” ujar kuasa hukum pemohon Muhammad Fadil di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/11).
Selain itu, kuasa hukum pemohon lainnya, Andri Yunus, menyatakan sejumlah pasal dalam UU TNI, terutama terkait OMSP, menyalahi prinsip konstitusional yang menjamin kebebasan berpendapat dan kepastian hukum.
“Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 yang mengatur TNI membantu tugas pemerintah daerah dalam mengatasi akibat bencana, konflik komunal, dan mogok kerja jelas bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tegas Andri.
Menurutnya, memasukkan aksi mogok sebagai bagian dari ancaman yang bisa ditangani TNI sama saja dengan membatasi hak konstitusional warga untuk menyatakan pendapat.
“Hak mogok kerja itu dilindungi konstitusi dan diakui dalam Konvensi ILO Nomor 87 Tahun 1948. Jadi tidak bisa dianggap sebagai gangguan keamanan yang memerlukan intervensi militer,” ujarnya.
Andri juga mengkritik pengaturan “konflik komunal” yang dinilai kabur dan bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
“Dalam UU Penanganan Konflik Sosial, pengerahan TNI hanya dapat dilakukan atas permintaan pemerintah daerah kepada presiden dalam kondisi darurat dan tetap di bawah koordinasi Polri. Jadi frasa konflik komunal dalam UU TNI ini jelas menyimpang,” jelasnya.
Ia juga menyoroti frasa ‘membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber’ yang termuat dalam pasal 7 ayat (2) angka 15.
“Pertahanan siber adalah bagian dari operasi militer perang, bukan OMSP. Pengaturan ini justru membuka ruang campur tangan militer dalam urusan keamanan siber yang semestinya ditangani oleh lembaga sipil,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Kuasa hukum Husain Ahmad, menilai UU TNI meniadakan peran DPR dalam pengambilan keputusan strategis terkait operasi militer selain perang.
“Pasal 7 ayat (4) UU TNI mendelegasikan pelaksanaan OMSP melalui peraturan presiden. Ini menghapus fungsi check and balance DPR yang seharusnya memberi persetujuan terhadap pengerahan pasukan,” ujarnya.
Husain menegaskan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 20A UUD 1945.
“Setiap pengerahan TNI, baik untuk perang maupun selain perang, seharusnya melibatkan DPR agar tidak terjadi kesewenang-wenangan oleh eksekutif,” katanya. (Dev/P-1)

4 hours ago
2
















































