Suasana sidang praperadilan Delpedro Marhaen dan kawan-kawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan .(Antara)
PAKAR hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho menilai penolakan permohonan praperadilan yang diajukan aktivis Delpedro Marhaen oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan harus menjadi momentum evaluasi bagi kepolisian dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam proses penegakan hukum.
“Kasus Delpedro ini menarik karena merupakan upaya koreksi terhadap tindakan Polda Metro Jaya dalam proses penangkapan waktu itu,” ujar Hibnu dalam keterangannya, Selasa (28/10).
Menurutnya, langkah praperadilan merupakan mekanisme konstitusional untuk menguji keabsahan tindakan aparat penegak hukum dalam penggunaan upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, hingga penetapan tersangka.
“Praperadilan adalah bentuk kontrol terhadap tindakan paksa aparat. Apakah penangkapan, penahanan, atau penetapan tersangka itu sah secara hukum, itu yang diuji,” jelas Hibnu.
Ia menambahkan, dalam konteks perkara Delpedro, hakim tunggal memiliki waktu tujuh hari untuk memutuskan sah atau tidaknya penetapan tersangka. Aats dasar, putusan ini perlu dilihat dari sejauh mana tindakan kepolisian telah memenuhi aspek hukum formil dan menghormati HAM.
“Kita harus melihat sejauh mana tindakan Polda Metro Jaya sudah betul-betul melindungi hak asasi manusia. Misalnya, apakah penangkapan dilakukan dengan surat perintah yang sah, dan apakah bukti permulaan yang digunakan sudah cukup,” tegasnya.
Selain itu, Hibnu menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2016, ruang lingkup praperadilan hanya sebatas pengujian aspek formil, bukan materi pokok perkara.
“Yang diuji dalam praperadilan itu bukan soal siapa yang bersalah, tapi soal apakah prosedurnya sudah sah. Bukti yang diperiksa baru sebatas bukti permulaan, belum menyentuh substansi perkara,” katanya.
Ia menilai, meski hasil praperadilan menolak permohonan Delpedro, proses ini tetap penting sebagai bentuk kontrol publik terhadap negara hukum. “Ini bentuk kontrol yang luar biasa bagi masyarakat terhadap negara hukum. Jangan sampai upaya penangkapan atau penetapan tersangka justru melanggar hak asasi manusia,” pungkasnya.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilanyang diajukan Delpedro Marhaen dan kawan-kawan, terdakwa dalam kasus demonstrasi yang berujung ricuh pada Agustus 2025.
“Mengadili, menolak permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya," kata hakim tunggal Sulistiyanto Rochman Budiharto dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, pada Senin (27/10).
Hakim menilai penetapan Delpedro sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya sudah sesuai mekanisme hukum. Kepolisian disebut telah mengantongi setidaknya dua alat bukti yang sah sebelum menetapkan status tersangka.
Dalam pertimbangannya, hakim menyebut polisi melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dan menemukan barang bukti berupa tangkapan layar media sosial yang relevan dengan perkara tersebut. Proses penyelidikan hingga penyidikan pun dinilai telah berjalan sesuai prosedur, termasuk gelar perkara yang digelar pada 29 Agustus 2025.
Selain itu, penyampaian status tersangka hingga penangkapan kepada keluarga Delpedro juga dinyatakan telah dilakukan pihak kepolisian.
“Menimbang bahwa dengan dipenuhinya dua alat bukti yang sah di atas, maka kerja persoalan dalam permohonan praperadilan a quo, yakni penetapan tersangka terhadap pemohon telah sesuai dengan hukum,” kata majelis.
Diketahui, dalam kerusuhan yang terjadi pada 25 Agustus 2025 polisi mengamankan 337 orang, termasuk 202 anak di bawah umur. Penindakan kembali dilakukan pada 28 Agustus terhadap 765 orang, serta pada 30-31 Agustus terhadap 205 orang lainnya. (Dev/P-2)

4 hours ago
1
















































