Indonesia Marak Politik Uang, Kemendagri: Wajar karena Banyak Orang Miskin

7 hours ago 2
 Wajar karena Banyak Orang Miskin Ilustrasi(Medcom)

Direktur Jendral Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bahtiar Baharuddin menyoroti tingginya politik uang pada Pemilu di Indonesia. Ia mengatakan berdasarkan laporan dan penelitian dari koalisi masyarakat sipil dan akademisi, sekitar 70%-80% warga permisif dengan politik uang.  Ia mengatakan mayoritas pemilih datang ke tempat pemungutan suara (TPS) karena diiming-imingi uang, bukan kesadaran untuk berpartisipasi memberikan suaranya pada Pemilu. 

"Jadi melihat politik uang yang tadi angka 50an sekarang lebih dari 70%, bahkan ada yang memberi angka 80%. Jadi politik uang itu sesuatu luar biasa, artinya orang datang ke TPS itu bukan karena kesedaran politik tetapi datang ke TPS karena politik uang. Itu yang pertanyaannya yang dikejar," kata Bahtiar di Hotel Pullman, Jakarta Barat, Sabtu (18/10).

Bahtiar mengungkapkan tingginya politik uang tak lepas dari kondisi masyarakat yang terjerembab dalam kemiskinan. Ia mengatakan hal tersebut membuat masyarakat mudah menerima uang saat Pemilu. Ia mengatakan berdasarkan data World Bank, 194,7 juta dari 285 juta penduduk Indonesia berada di garis kemiskinan. Selain itu, ia juga menyoroti tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang lebih dari setengah lulusan SMP.

"Jadi Anda bisa berharap apa kepada warga yang 194,7 juta menurut World Bank bukan data BPS ya, yang masih miskin. Yang selanjutnya kita berharap partisipasi yang berkualitas seperti apa dengan kondisi masyarakat hanya 6,8% atau 7% itu yang lulusan perguruan tinggi, lebih dari 65% masih lulusan SMP bahkan ada yang putus sekolah itu kurang lebih 24%," kata Bahtiar.

Bahtiar mengatakan persoalan ini harus diatasi untuk menciptakan demokrasi yang berkualitas. Ia mengatakan partisipasi politik masyarakat diharapkan tidak disebabkan politik uang. Ia berharap jangan sampai terjadi apatisme di masyarakat terkait penyelenggaraan Pemilu.

"Logika umumnya kan ketika partisipasi naik, kualitas demokrasi meningkat. Apakah iya benar meningkat kualitas demokrasi kita? Faktanya ini di ruang-ruang kampus didiskusikan kok enggak. Kok sebagian besar orang menyatakan seperti itu, bahkan jangan sampai terjadi malah apatisme dalam bentuk baru," katanya.

"Jadi kalau apatisme selama ini kita pengertian bahwa orang golput, apatisme. Dalam pengertian saya yang baru orang datang ke TPS tapi sebenarnya orang gak mau tahu juga, terserah deh siapa aja yang terpilih bupati  wali kota  toh gak ada pengaruhnya pada nasib kita 5 tahun 10 tahun ke depan," katanya.

Lebih lanjut, Bahtiar mengungkapkan persoalan serius ini jangan hanya dibebankan kepada penyelenggara Pemilu. Menurutnya, perlu upaya semua meningkatkan partisipasi masyarakat dan politik yang berkualitas. 

"Saya terus terang agak serius dengan hal seperti ini. Jangan pula kita bebankan soal ini hanya kepada KPU atau penyelenggara pemilu. Jangan-jangan sistem yang tersedia, bukan hanya sistem pemilu atau sistem politik kita dalam arti luas memang tidak menyiapkan ruang partisipasi yang lebih baik," tandasnya. (E-3)

Read Entire Article
Global Food