Pemulung memilah sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang, Semarang.(Dok. Antara)
MENTERI Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengakui secara terbuka bahwa hampir seluruh daerah di Indonesia belum mampu mengelola sampah secara tuntas.
Ia menyebut persoalan pengelolaan sampah itu bukan semata soal teknis, tetapi juga lemahnya tata kelola lingkungan dan komitmen pemerintah daerah.
“Alhamdulillah sampai hari ini kita belum punya kabupaten kota yang selesai sampahnya. Menterinya belum becus menangani sampah nasional,” ujar Hanif dalam acara Plastic, Climate and Biodiversity Nexus Forum A Multi-Stakeholder Dialogue, Selasa (28/10).
Menurutnya, kendala utama pengelolaan sampah di daerah adalah minimnya infrastruktur dasar dan sistem pengumpulan yang terintegrasi. Sebagian besar kabupaten/kota masih menerapkan pola kumpul-angkut-buang, tanpa proses pemilahan dan pengolahan di sumber. Kondisi ini membuat volume sampah terus menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), yang sebagian besar masih berstatus open dumping.
Ia menambahkan, pemerintah pusat telah menargetkan pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan 70% pada tahun 2025. Namun target tersebut terancam sulit dicapai bila pemerintah daerah tidak memperbaiki sistem manajemen sampah secara menyeluruh.
“Kita punya target, tapi tanpa sistem di lapangan, angka itu hanya jadi slogan,” katanya.
Hanif menyoroti DKI Jakarta sebagai salah satu wilayah paling krusial. Dengan produksi sampah mencapai 8.000 ton per hari, sekitar 85% masih dikirim ke TPA Bantar Gebang yang kini mendekati ambang kapasitas.
“Saya ingin WWF dan Dinas LH Jakarta memilih satu wilayah saja untuk dijadikan contoh. Tunjukkan keberhasilan nyata, jangan hanya kampanye,” ujarnya.
Selain itu, Hanif juga menyoroti implementasi Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang Pengelolaan Sampah menjadi Energi (Waste to Energy). Ia menilai, meskipun kebijakan tersebut penting untuk mendorong inovasi teknologi, pemerintah daerah tidak bisa bergantung sepenuhnya pada proyek pembangkit listrik tenaga sampah.
“Kalau semua berharap pada teknologi mahal, selesai semua daerah keuangannya. Yang paling penting adalah mengubah perilaku masyarakat,” ujarnya.
Ia menegaskan, teknologi pengelolaan sampah harus disesuaikan dengan kapasitas dan karakteristik daerah. Di kota besar, pendekatan berbasis teknologi mungkin efektif, tetapi di daerah menengah dan kecil, model berbasis masyarakat jauh lebih efisien.
Pemerintah pusat, katanya, sedang menyiapkan pedoman nasional waste hierarchy untuk memastikan setiap daerah memiliki strategi yang sesuai skala.
Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Dudi Gardesi menyatakan, pihaknya telah menyiapkan program pengelolaan terpadu di tingkat RW untuk memperkuat sistem pengurangan sampah dari sumbernya.
“Tahun ini kami fokus pada 30 RW percontohan, dengan konsep Jakarta Tanpa Sampah 2030. Kami mulai dari sumber, dengan sistem pemilahan, pengomposan, dan bank sampah digital,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, pendekatan berbasis komunitas dinilai lebih efektif karena melibatkan partisipasi warga sejak tahap awal.
Dinas LH DKI Jakarta juga berencana menggandeng pelaku usaha dan komunitas lingkungan untuk memperkuat ekosistem ekonomi sirkular di wilayah perkotaan. (H-3)

5 hours ago
1
















































