
KEPALA Pusat Data dan Teknologi Informasi, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Yudistira Nugroho mengatakan bahwa salah satu tantangan terberat dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah 3T adalah angka putus sekolah yang cukup tinggi, terutama di tingkat SD dan SMK.
“Ada beberapa faktor penyebab angka putus sekolah termasuk kendala ekonomi, keterbatasan akses, serta faktor sosial budaya,” ungkapnya dalam Rapat Dengar Pendapat Panja Pendidikan Komisi X DPR RI, Rabu (12/3).
Lebih lanjut, data Pusdatin tahun ajaran 2024/2025 menunjukkan variasi angka putus sekolah di setiap jenjang pendidikan, di mana faktor penyebabnya berbeda untuk masing-masing jenjang.
“Di tingkat SD kita lihat faktor ekonomi dan akses keluarga dalam mendapatkan pendidikan menjadi faktor utama. Di tingkat SMP dan SMA disebabkan masalah sosial dan kurangnya motivasi siswa menjadi tantangannya. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan yang spesifik untuk menekan angka putus sekolah di setiap jenjang. Kemudian untuk angka putus sekolah di daerah 3T lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional,” ujar Yudistira.
“Penyebab utamanya keterkaitan dengan keterbatasan akses terhadap sekolah, kondisi ekonomi yang kurang mendukung, fasilitas pendidikan yang minim, serta rendahnya kesadaran akan pendidikan. Selain itu, faktor sosial budaya yang mengedepankan pekerjaan sejak dini dan kendala transportasi turut berkontribusi terhadap angka putus sekolah yang tinggi. Perlu adanya upaya bersama pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan akses dan kesadaran pendidikan di wilayah 3T,” sambungnya.
Menurut Yudistira, pemerintah saat ini sedang menyusun regulasi khusus untuk menangani anak yang tidak sekolah dan anak yang rentan putus sekolah. Termasuk dengan memberikan program pendidikan alternatif melalui pusat kegiatan belajar masyarakat atau PKBM dan sanggar belajar atau SKB.
Di tempat yang sama, Kepala Pusat Data dan Informasi Perencanaan Pembangunan, Kementerian PPN/Bappenas, Agung Indrajid menambahkan bahwa sarana dan prasarana atau infrastruktur sangat berpengaruh pada angka harapan lama sekolah di daerah 3T.
“Banyak permasalahan di jalan yang berada di kabupaten dan desa yang menimbulkan keterjangkauan akses ke sekolah. Ini menjadi faktor utama bagi orangtua dan murid untuk menentukan meneruskan sekolah atau tidak. Untuk itu, aksesibilitas dan keterjangkauan ke fasilitas pendidikan merupakan salah satu yang penting,” ucap Agung.
Salah satu cara yang dilakukan adalah percepatan pembangunan afirmatif untuk daerah tertinggal dan daerah sangat tertinggal menjadi daerah berkembang dan/atau maju, melalui kebijakan pemenuhan dan peningkatan akses layanan dasar pendidikan, kesehatan, serta perlindungan sosial yang sesuai standar dan berbasis kondisi geografis wilayah.
Selain itu, diperlukan juga penguatan ekonomi lokal berbasis kearifan lokal dan inovasi melalui pengembangan sentra pertanian dan perikanan terintegrasi, penataan pariwisata rintisan, pemerataan penyediaan infrastruktur dasar sesuai standar, peningkatan konektivitas intra dan antarwilayah, dan pengelolaan dan pengurangan risiko bencana yang efisien dan tepat guna.
Contoh arah kebijakan daerah tertinggal dalam pembangunan kewilayahan di Provinsi Papua Tengah melalui pemenuhan dan peningkatan akses layanan dasar pendidikan, kesehatan, serta perlindungan sosial yang sesuai standar dan berbasis kondisi geografis wilayah, dengan output afirmasi bantuan biaya pendidikan program studi tenaga medis dan tenaga kesehatan dengan wajib penempatan pada DTPK, SD yang mendapat pembinaan program afirmasi, serta aktivasi balai desa dengan pelibatan masyarakat desa.
“Dilakukan juga penguatan ekonomi lokal berbasis kearifan lokal dan inovasi melalui pengembangan sentra pertanian dan perikanan terintegrasi, serta penataan pariwisata rintisan, dengan output optimasi lahan termasuk revitalisasi lahan rusak menjadi produktif, peningkatan sarana budi daya ikan laut yang disalurkan ke masyarakat, pemberian pelatihan untuk pembekalan kerja bagi SDM pariwisata, serta pengembangan UMKM lokal,” kata Agung.
Lalu pemerataan penyediaan infrastruktur dasar sesuai standar, serta peningkatan konektivitas intra dan antarwilayah, dengan output pembangunan jaringan listrik dan telekomunikasi, bantuan sarana akses internet perdesaan di daerah tertinggal dan sangat tertinggal, dan pembangunan jalan akses simpul transportasi.
Terakhir pengelolaan dan pengurangan risiko bencana yang efisien dan tepat guna, dengan output masyarakat di daerah tertinggal dan sangat tertinggal yang ditingkatkan kapasitasnya dalam penguatan mitigasi bencana.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijaya mengatakan bahwa daerah 3T selama ini membutuhkan dukungan dalam penyelenggaraan pendidikan.
“Betapa teganya kita sama daerah 3T ini. Saya beri contoh, Sumba Barat Daya punya APBD Rp1,1 triliun dan untuk pendidikan Rp660 miliar. 58% lebih itu untuk pendidikan. Seram bagian Barat, 50% APBD untuk pendidikan. Manggarai Timur 49,5%. Kita bisa bayangkan anggaran seperti Nias Barat hanya Rp782 miliar dan hampir 50% untuk pendidikan sebesar Rp362 miliar. Artinya apakah iya variabel dan indikatornya harus sama,” ujar My Esti.
“Tidak mungkin mereka mengejar ketertinggalan. 50% anggaran mereka untuk pendidikan dengan pagu yang sedemikian kecil. Sementara DAK fisik mereka semakin kecil. Ini semakin jelas memperlihatkan ada yang harus diperbaiki dalam dunia pendidikan kita untuk mengejar ketertinggalan bagi wilayah 3T. Tidak mungkin kita bisa mendekatkan kalau seperti ini,” pungkasnya. (Des)