Waktu yang Memuliakan Guru

1 day ago 5
Waktu yang Memuliakan Guru (MI/Seno)

KEMENTERIAN Pendidikan Dasar dan Menengah beberapa waktu lalu merilis Permendikdasmen 11/2025 yang merelaksasi alokasi jam mengajar guru. Selain untuk kegiatan mengajar di kelas, pemenuhan minimal 24 jam mengajar tatap muka dengan kondisi dan batasan tertentu dapat dikombinasikan dengan tugas pembimbingan dan tugas tambahan lain. Itu termasuk pengembangan kompetensi dan keterlibatan dalam organisasi masyarakat.

Kebijakan itu terutama diperuntukkan memberikan ruang bagi guru agar dapat berkembang secara profesional dan personal. Jika 24 jam dikunci hanya untuk pembelajaran di kelas, dalam setahun guru-guru kita minimal harus mengajar selama kurang lebih 864 jam. Itu dengan asumsi 36 minggu efektif setahun.

Jika dibandingkan dengan situasi secara internasional, jumlah jam mengajar itu tergolong tinggi. OECD dalam Education at a Glance 2024 mengungkapkan rata-rata jam mengajar guru di negara-negara anggota mereka untuk tingkat SD sekitar 773 jam per tahun. Lebih rendah lagi pada SMP (706 jam) dan SMA (679 jam). Di Korea Selatan yang sistem pendidikannya dikenal cukup ketat, rata-rata jam mengajar per tahun guru SD 'hanya' 671 jam, guru SMP 517 jam, dan SMA 539 jam.

WAKTU UNTUK BERKEMBANG

Guru bukan sekadar pekerja kurikulum. Mereka pendidik yang membentuk nalar dan karakter murid. Untuk dapat menjalankan peran tersebut, guru butuh waktu untuk belajar dan berinovasi.

Dengan relaksasi jam mengajar tatap muka, guru dapat lebih terlibat dalam program pengembangan diri. Mereka juga dapat berkolaborasi untuk mengeksplorasi berbagai pendekatan baru dalam mengajar atau melakukan penelitian bersama.

Di berbagai negara, alokasi waktu pengembangan diri guru dikondisikan sistem. Di Singapura, misalnya, guru memperoleh jatah hingga 100 jam tiap tahun untuk pengembangan profesional. Di Inggris dan Kanada ada yang disebut inset days (in-service training days). Itu ialah hari-hari khusus dalam kalender akademik yang dialokasikan untuk pelatihan guru.

Senada dengan itu, Kemendikdasmen juga merilis kebijakan hari belajar guru. Itu ialah satu hari dalam setiap minggu sesuai dengan kesepakatan tiap sekolah yang harus digunakan untuk aktivitas belajar guru. Mengembangkan diri ialah bagian dari tugas profesional, bukan beban tambahan.

WAKTU UNTUK MEMBIMBING

Tugas guru sebagai pendidik tidak hanya mengajar, tapi juga membimbing. Bagi para murid, guru ialah orang dewasa penting di sekolah. Secara psikososial, anak-anak dan remaja itu berada pada fase pencarian identitas, belajar mengelola emosi, dan membangun relasi sosial. Bimbingan guru membantu mereka menavigasi fase ini dengan aman dan sehat.

Remaja juga rentan terhadap pengaruh negatif seperti perundungan, narkoba, pornografi, dan bahkan radikalisme. Gurulah yang berperan melindungi dari risiko tersebut. Selain itu, penanaman nilai dan karakter akan jauh lebih efektif jika dilakukan lewat pendekatan personal.

Selama ini peran-peran pembimbingan itu terkonsentrasi pada guru bimbingan konseling (BK) yang jumlahnya sangat terbatas. Dengan fleksibilitas alokasi jam mengajar, peran-peran pembimbingan dapat didistribusikan kepada semua guru.

Pemerintah secara paralel memberikan pelatihan konseling lewat program 7 Jurus BK Hebat agar setiap guru memiliki keterampilan dasar yang dibutuhkan. Dengan peran pembimbingan yang dapat diekuivalenkan dengan jam mengajar tatap muka itu, setiap murid mendapatkan perhatian yang setara.

WAKTU BERMASYARAKAT

Sejak lama guru di Indonesia tidak hanya dikenal sebagai pendidik, tapi juga teladan, penggerak sosial, dan rujukan moral komunitas mereka. Reorganisasi jam mengajar juga membuka peluang untuk menghidupkan kembali peran tradisional guru itu.

Keterlibatan guru dalam aktivitas kemasyarakatan memiliki dua manfaat besar. Pertama, memantapkan kompetensi sosial dan melatih keterampilan kepemimpinan mereka. Kedua, memperkuat jejaring sosial antara sekolah dan masyarakat, yang pada akhirnya mempermudah kerja sama keduanya dalam mendidik murid.

Anak-anak belajar tentang tanggung jawab, empati, dan kerja sama dari lingkungan mereka. Ketika guru aktif bermasyarakat, mereka menjadi jembatan antara nilai-nilai yang diajarkan di sekolah dan praktik sehari-hari. Dengan demikian, pendidikan karakter tidak berhenti di dalam ruang kelas, tetapi hidup dalam denyut kehidupan masyarakat.

MEMULIAKAN PROFESI

Kekhawatiran sebagian kalangan bahwa relaksasi jam mengajar dapat memperburuk masalah kekurangan guru di daerah memang perlu diperhatikan. Namun, masalah pemerataan guru ialah problem struktural yang harus dilihat secara proporsional.

Rasio guru terhadap murid kita secara nasional (1:15) tergolong mewah jika dibandingkan dengan banyak negara. Pemerataannya yang jadi tantangan. Solusinya ialah kebijakan rekrutmen, redistribusi, dan insentif yang adil. Bukan dengan mempertahankan beban kerja yang merenggut jati diri profesional dan manusiawi mereka. Kedua upaya perlu beriringan.

Lebih dari itu, pendekatan yang berpihak pada pemuliaan guru justru dapat menjadi daya tarik untuk memperkuat profesi itu, mendorong lebih banyak talenta muda berkualitas memilih karir sebagai pendidik. Survei PGRI (2025) menemukan hanya 11% anak muda yang berminat menjadi guru.

Dengan memperkuat peran guru sebagai pendidik seutuhnya yang dijamin kesejahteraan lahir batinnya, profesi itu tidak akan dilihat sebagai pekerjaan rutin penuh beban. Sebaliknya, ia akan dipandang sebagai profesi intelektual dan sosial yang bermartabat, memberikan ruang untuk pengembangan diri, serta berkontribusi langsung bagi masa depan bangsa.

Read Entire Article
Global Food