Studi: Santri Putra Lebih Rentan Alami Kekerasan Seksual

5 hours ago 3
 Santri Putra Lebih Rentan Alami Kekerasan Seksual Santri putra dan santri putri di sebuah pesantren.(Antara/ Adeng Bustomi)

PUSAT Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah melakukan penelitian terkait kerentanan dan ketahanan pesantren dari kekerasan seksual. Penelitian itu dilakukan selama dua tahun sejak 2023, melibatkan responden 1.772 santri dan 517 ustaz/ustazah di 34 provinsi.

Hasil penelitian itu kemudian diterbitkan dalam dua buku, masing-masing berjudul Menuju Pesantren Ramah Anak, serta Menjaga Marwah Pesantren. Salah satu temuan utama penelitian itu mengungkapkan, terdapat 1,06% populasi santri atau setara dengan 43.497 santri berpotensi rentan terhadap kekerasan seksual. Selain itu, santri putra ditemukan lebih rentan (1,90%) dibandingkan santri putri (0,20%), terhadap kekerasan seksual di pesantren.

Haula Noor, salah satu peneliti, mengaku temuan santri putra yang lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual cukup mencengangkan. Menurutnya, hal itu bisa menjadi semacam wake-up call bahwa selama ini perlindungan hanya fokus pada santri putri.

"Akhirnya lupa dengan santri putra bahwa mereka juga sebenarnya rentan. Ada kondisi misalkan dalam bentuk candaan, bullying, yang dianggap biasa bagi santri putra, ternyata itu adalah indikasi mengarah ke kerentanan mereka terhadap kekerasan seksual," katanya dalam acara diskusi dan bedah buku di Jakarta, Selasa (8/7).

Lima Faktor Kerentanan

Ia mengatakan kerentanan santri laki-laki itu setidaknya didasarkan pada lima faktor kerentanan. Kelima itu adalah faktor kesehatan mental, pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, sosial budaya di dalam pesantren itu sendiri, lingkungan fisik, dan lingkungan non-fisik. "(Faktor) lingkungan fisik biasanya yang paling sering menunjukkan santri putra itu lebih rentan," ujar Haula.

Windy Triana, koordinator tim peneliti, menyebut sekilas angka 1,06% terlihat kecil. Namun ketika dijumlahkan yakni sebanyak 43.497 santri yang berpotensi rentan terhadap kekerasan seksual, itu tidak bisa diabaikan.

"kekerasan itu, satu pun sudah sesuatu. Jadi tidak bisa diabaikan. Apalagi ini walaupun 1,06% tapi kemudian ketika diangkakan menjadi 43.497 santri. Nah ini semacam wake-up call," ungkapnya.

Namun di sisi lain, lanjutnya, angka itu juga memperlihatkan ketahanan pesantren sangat tinggi. "Kalau dibandingkan dengan jumlah pesantren yang jumlahnya sekarang sudah 42 ribu, artinya kalau 1,06% kerentanan, sisanya adalah ketahanannya. Jadi ketahanannya itu sebetulnya lebih tinggi," jelasnya.

Pihaknya sangat mengapresiasi keterbukaan pesantren untuk menyadari bahwa kerentanan itu ada. "Walaupun ketahanannya itu yang bisa diperkuat untuk mengurangi kerentanan ini atau bahkan bukan hanya sekadar mengurangi tapi menghilangkan kerentanan ini," katanya.

Selama proses perjalanan penelitian, lanjutnya, PPIM UIN Jakarta selalu melibatkan kementerian, baik itu Kementerian Agama, Kementerian PPPA maupun Kementerian PPN/Bappenas.

Windy juga sangat senang karena di tengah-tengah proses penelitian terbit dua kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama, yakni KMA No 91 Tahun 2025 Tentang Peta Jalan Program Pengembangan Pesantren Ramah Anak Kementerian Agama RI, dan Keputusan Direjen Pendidikan Islam Nomor 1262 Tahun 2024 yang mengatur petunjuk teknis pengasuhan ramah anak di pesantren.

"Jadi kami merasa penelitian yang kami lakukan tidak sia-sia. Walaupun 514 pesantren yang sekarang sedang menjadi pilot pesantren ramah anak itu masih berproses juga, masih mencari bentuk, kementerian masih terus mengerjakan juknis-juknis bagaimana mewujudkan pesantren ramah anak. Itu sangat membahagiakan untuk kami," paparnya.

Titik Kerawanan di Pesantren

Pada kesempatan yang sama, M Falikul Isbah, dosen di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengakui pendidikan di pesantren memang memiliki sejumlah titik kerawanan.

"Ada ruang-ruang atau possibilities of vulnerabilities.Titik-titik kerawanan, kerentanan. Tapi dia juga ada resilensi dan hasil yang tidak bisa didapatkan di pendidikan umum. Ini adalah whole life education. Pendidikan yang prosesnya itu dari bangun tidur sampai tidur lagi," ungkapnya.

Ia mengungkapkan ada beberapa hal yang ia soroti dalam penelitian itu. Pertama, beberapa informan punya pemahaman kekerasan seksual itu sama dengan zina sehingga korban itu punya keharusan untuk membuktikan diri.

"Saya mikir, berarti ini topik yang sangat menantang bagi ilmu hukum Islam. Selama ini kan ada praktik salah kaprah. Korban terkosaan malah dinikahkan dengan pelaku pemerkosanya. Itu salah satu bentuk dari tidak ketidakjelasan pemahaman kita tentang hukum Islam," ujarnya.

Kedua, ada pemahaman tentang kekerasan seksual yang cenderung objektifisme dan esensialisme perempuan. Yang membuatnya terhenyak, hal itu marak juga di kalangan ustazah.

Contohnya pandangan-pandangan seperti pelecehan terhadap perempuan itu karena perempuannya tidak bisa menjaga diri, menjaga aurat, dan sebagainya. "Pendek kata kita menyebutnya objektifisme sekaligus esensialisme, bahwa semua kejadian itu sebabnya pasti begini," jelasnya.

Selain itu masih adanya reproduksi pandangan atau tafsir agama yang misoginis di kalangan ustazah. "Agak mirip sama objektifisme. Intinya perempuannya bagaimana? Kalau sampai ada apa-apa ya salahmu sendiri," tuturnya.

"Ini bagi saya mungkin patut dikaitkan dengan sejauh mana wacana gender kita, topik gender atau wacana gender itu masuk ke ruang publik, juga ruang-ruang Islam, UIN, dan sebagainya. Tapi kok di lapangan masih seperti ini? Sepertinya ada titik-titik yang tidak tersentuh oleh pengarusutamaan gender," pungkasnya. (M-1)

Read Entire Article
Global Food