
MAHKAMAH Konstitusi Thailand menangguhkan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dari jabatannya pada Selasa (1/7). Pengadilan menyelidiki dugaan pelanggaran etika terkait pembicaraan telepon yang bocor dengan mantan pemimpin Kamboja, Hun Sen.
Tujuh dari sembilan hakim mendukung penangguhan sementara Paetongtarn, setelah menerima petisi dari 36 senator yang menudingnya melanggar standar etika berdasarkan konstitusi. Paetongtarn kini memiliki waktu 15 hari untuk memberikan jawaban resmi.
Selama masa skorsing, Wakil Perdana Menteri Suriya Juangroongruangkit akan menjalankan peran sebagai pelaksana tugas perdana menteri. Sementara itu, Paetongtarn tetap berada di kabinet sebagai Menteri Kebudayaan setelah reshuffle terakhir.
"Pekerjaan pemerintah tidak berhenti, tidak ada masalah," kata Menteri Pariwisata Sorawong Thienthong, yang juga menjabat sebagai Sekjen Partai Pheu Thai, seperti dikutip SCMP, Rabu (2/7).
Koalisi Melemah dan Ketidakpuasan Publik Meningkat
Kritik terhadap Paetongtarn meningkat setelah konflik perbatasan dengan Kamboja pada 28 Mei lalu menewaskan seorang tentara Kamboja.
Situasi memburuk setelah rekaman percakapannya dengan Hun Sen bocor ke publik. Dalam percakapan itu, Paetongtarn terdengar berusaha menenangkan Hun Sen serta menyebut seorang jenderal Thailand sebagai lawan.
Kemarahan publik dan politisi Meletus sehingga menyebabkan partai mitra utama dalam koalisi mundur. Hal ini membuat posisi Partai Pheu Thai menjadi lemah di parlemen dan mendorong potensi pengajuan mosi tidak percaya.
"Putusan telah keluar dan saya menerima keputusan pengadilan," kata Paetongtarn kepada wartawan di Gedung Pemerintah Bangkok.
"Saya ingin menegaskan kembali bahwa saya selalu berniat untuk melakukan yang terbaik bagi negara saya," tambahnya.
"Dalam jangka panjang, stabilitas pemerintah kemungkinan akan menjadi lebih rapuh karena ketidakpastian seputar situasi Paetongtarn," kata Pengamat politik dari Universitas Thammasat, Purawich Watanasukh.
Dia juga menyoroti bahwa Mahkamah Konstitusi sebelumnya memberhentikan Srettha Thavisin tahun lalu dengan alasan serupa. Beberapa pengamat menilai pengadilan menjadi alat kekuatan royalis dan elite politik untuk menjegal rival mereka.
Dampak Politik Lebih Luas dan Reaksi Publik
Pavin Chachavalpongpun dari Universitas Kyoto menyebut bahwa keputusan ini akan menggerus legitimasi Pheu Thai dan memperdalam krisis kepercayaan publik.
Dia memperingatkan bahwa keputusan ini dapat memperdalam keretakan dalam koalisi Pheu Thai dan membuat para pesaingnya, baik di dalam maupun luar parlemen, semakin berani.
Dia juga menyebut langkah Mahkamah Konstitusi terhadap Paetongtarn sebagai bagian dari pola penyingkiran keluarga Shinawatra yang sebelumnya juga menimpa Thaksin dan Yingluck.
"Dasar hukum penangguhan tersebut mungkin tampak masuk akal di atas kertas, tetapi waktu dan penegakan hukum yang selektif menunjukkan ada kalkulasi politik," ujarnya.
Prem Singh Gill dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menyoroti bahwa kasus ini mengangkat isu serius mengenai pemisahan kekuasaan. "Ini bukan sekadar sandiwara politik. Ini keputusan konstitusional dengan implikasi pemisahan kekuasaan yang serius," katanya.
Gill juga menilai lepasnya rekaman oleh Hun Sen sebagai pelanggaran protokol diplomatik, mengingat perlindungan komunikasi dalam Konvensi Wina.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Mao Ning, menyatakan harapan agar Thailand menjaga stabilitas.
"Ini urusan internal Thailand dan saya tidak akan mengomentarinya. Namun sebagai tetangga yang bersahabat, kami berharap Thailand akan menjaga stabilitas dan pembangunan," ujarnya.
Di sisi lain, suara-suara dari generasi muda dan oposisi mulai menguat.
"Saya berharap pemerintahannya akan segera menemui akhir politiknya. Namun, kami sangat yakin bahwa penggantian Perdana Menteri dan pemerintahan dapat terjadi tanpa masyarakat harus membayar harga prinsip-prinsip demokrasi," tulis Parit Wacharasindhu dari Partai Rakyat.
Seorang mahasiswa, Nunnapat Jantasit, 21, menyuarakan rasa frustrasinya terhadap sistem politik saat ini.
"Saya lelah dengan permainan ini. Negara-negara besar ini sedang bermain-main. Ini lelucon yang buruk. Kapan saatnya kita bersinar?" pungkas Nunnapat. (I-2)