(MI/Seno)
MEMBANGUN dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan. Itu adalah salah satu dari program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto untuk memberantas kemiskinan sekaligus mengurangi polarisasi sosial yang terjadi di masyarakat, baik polarisasi antarkelas maupun antarwilayah. Mewujudkan kesejahteraan sosial merupakan salah satu komitmen utama pemerintah di era Presiden Prabowo Subianto.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, pemerintah telah menargetkan angka kemiskinan ekstrem akan direduksi hingga 0% pada 2029 dan angka kemiskinan umum ditekan hingga 4,5%. Sejauh mana target ini dapat direalisasi, tentu waktulah yang akan menjawabnya. Meski demikian, perlu dicatat bahwa hingga per Maret 2025 tercatat masih tersisa sebanyak 23,85 juta orang yang terkategori miskin, atau sekitar 8,47% dari total populasi. Angka ini menunjukkan terjadi penurunan 0,21 juta jiwa jika dibandingkan dengan September 2024 dan merupakan angka terendah dalam dua dekade terakhir. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk disebut miskin bila memiliki pengeluaran di bawah Rp609.160 per kapita per bulan.
Selama setahun terakhir, berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk memberantas kemiskinan. Disadari, di tengah kondisi perekonomian nasional yang sedang bermasalah, upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin bukanlah hal yang mudah. Ketika daya beli masyarakat ditengarai turun, APBN masih kembang-kempis, dan kondisi sumber daya manusia juga belum berkembang optimal, sesungguhnya tidak banyak hal yang dapat diharapkan. Hanya dengan tekad yang benar-benar kuat, upaya pemberantasan kemiskinan akan dapat dipenuhi.
Berbeda dengan program penanggulangan kemiskinan ekstrem yang melulu dapat dilakukan melalui program-program yang sifatnya amal-karitatif. Untuk program penanggulangan kemiskinan yang menyasar penduduk miskin usia produktif, tentu programnya harus benar-benar berorientasi pada pemberdayaan yang berkelanjutan.
Di titik inilah sebetulnya tantangan yang harus dihadapi pemerintah. Tidak mungkin program penanggulangan kemiskinan untuk penduduk miskin usia produktif hanya melalui program yang sifatnya populis. Butuh kerja keras dan komitmen pemerintah yang kuat untuk memastikan agar penduduk miskin usia produktif tidak malah tergantung, tetapi benar-benar menjadi berdaya.
TEKANAN EKONOMI GLOBAL
Presiden Prabowo sendiri, untuk menunjukkan keseriusannya memberantas kemiskinan, telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Instruksi ini dikeluarkan sebagai payung besar sekaligus acuan untuk melakukan koordinasi pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan yang tersebar di berbagai kementerian, lembaga, pusat dan daerah.
Secara garis besar, ada tiga pilar strategi nasional yang dikembangkan pemerintah untuk mewujudkan komitmen memberantas kemiskinan. Pertama, melalui program yang bertujuan mengurangi beban pengeluaran masyarakat, seperti program bantuan sosial, subsidi pangan, dan layanan pendidikan serta kesehatan gratis. Kedua, program yang bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui program padat karya, pemberdayaan ekonomi desa, dan dukungan UMKM. Ketiga, program penghapusan kantong-kantong kemiskinan dengan cara melakukan intervensi langsung ke wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi melalui pembangunan infrastruktur dasar, akses pendidikan, dan fasilitas kesehatan.
Untuk memastikan agar berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan tidak tumpang tindih dan hasilnya benar-benar efektif, pemerintah juga telah membentuk Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) melalui Peraturan Presiden Nomor 163 Tahun 2024. Badan ini dibentuk agar dapat mengoordinasikan pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan di lapangan sehingga pelaksanaannya tepat sasaran.
Pemerintah tidak main-main dengan komitmen untuk memberantas kemiskinan. Tidak hanya fokus memastikan program dapat berjalan dengan lancar di lapangan, pemerintah juga mengalokasikan dukungan dana yang tidak sedikit. Program-program unggulan yang digagas pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan didukung dengan alokasi dana yang jumbo. Program ini pun mengharuskan pemerintah melakukan efisiensi anggaran. Namun, hal itu dilakukan agar masyarakat miskin yang membutuhkan dapat terselamatkan.
Ada berbagai program unggulan, di antaranya Sekolah Rakyat, yang bertujuan meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat miskin; Kartu Indonesia Pintar (KIP), untuk memastikan anak-anak dari keluarga miskin tetap bersekolah; Padat Karya Desa; Pelatihan Vokasi dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, yang bertujuan meningkatkan kompetensi kerja dan perlindungan bagi pekerja rentan; dan lain-lain. Program-program dirancang dan digulirkan dengan harapan kemiskinan dan ketimpangan dapat berkurang signifikan.
Apakah selama setahun terakhir pelaksanaan berbagai program unggulan yang digulirkan pemerintah menampakkan hasl seperti yang diharapkan? Meski didukung alokasi dana yang besar, harus diakui selama setahun terakhir hasilnya belum berjalan seperti skenario yang diharapkan. Tidak hanya karena sebab-sebab domestik. Efektivitas pelaksanaan berbagai program unggulan penanggulangan kemiskinan sering kali juga terkendala oleh faktor eksternal, yakni kondisi perekonomian global yang cenderung lesu. Ketika terjadi perlambatan ekonomi nasional dan global, serta saat terjadi pelemahan nilai tukar rupiah, kita bisa melihat berapa banyak perusahaan yang kolaps atau paling tidak mengalami perlambatan perkembangan usaha. Di berbagai daerah, PHK melanda sektor manufaktur karena penurunan permintaan pasar global. Tidak hanya penurunan daya beli pasar domestik, kondisi pasar global yang lesu juga memengaruhi kelangsungan sektor industri di dalam negeri.
Sudah menjadi pengetahuan umum, ketika nilai tukar melemah, maka sektor industri yang bahan bakunya masih tergantung produk impor terpaksa harus mengurangi produksi mereka. Mereka tidak mungkin nekat melanjutkan aktivitas produksi ketika harga jual produk mereka harus dinaikkan lantaran kenaikan harga bahan baku. Sektor industri manufaktur di Tanah Air, yang sebagian besar bergantung pada bahan baku impor, memang tidak memiliki banyak pilihan. Saat ini, yang bisa dilakukan para pelaku ekonomi di Tanah Air umumnya ialah alih-alih ekspansif, bahkan bagaimana dapat sekadar bertahan hidup saja sudah hal yang sulit.
BIAS URBAN
Kalau mengacu pada data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia memang hanya tinggal 8,57%. Akan tetapi, kalau merujuk pada data Bank Dunia yang dirilis 13 Juni 2025, tingkat kemiskinan Indonesia pada 2024 berada di angka 68,3% dari total populasi, atau sekitar 194,72 juta orang. Berbeda dengan BPS yang menetapkan batas garis kemiskinan sekitar Rp500 ribu-Rp600 ribu per bulan per kapita, Bank Dunia menetapkan standar garis kemiskinan menggunakan Purchasing Power Parity
(PPP) 2021, yang menempatkan garis kemiskinan Indonesia pada angka US$8,30 per hari atau sekitar Rp1.512.000 per bulan per orang.
Terlepas mana data yang kita pakai, yang jelas selama satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, isu kemiskinan dan ketimpangan masih menjadi persoalan tersendiri. Di Indonesia, jumlah penduduk miskin di perdesaan tercatat masih 11,03% (Maret 2025). Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di perkotaan yang hanya 6,66% (September 2024), jumlah penduduk miskin di perdesaan memang masih lebih besar. Inilah yang menyebabkan Presiden Prabowo kemudian lebih fokus menangani kemiskinan di perdesaan ketimbang di perkotaan.
Di mata pemerintah, pembangunan mulai dari desa dan dari bawah merupakan kunci utama dalam mengentaskan warga di perdesaan dari kemiskinan melalui berbagai program, seperti pemberdayaan ekonomi, peningkatan akses pendidikan dan kesehatan, serta bantuan langsung tunai. Strategi ini bertujuan mengurangi kemiskinan yang umumnya memang lebih tinggi di perdesaan daripada perkotaan, melalui perbaikan sektor pertanian, penguatan koperasi, dan infrastruktur dasar.
Dengan menempatkan desa sebagai target utama pembangunan, pemerintah berharap ketertinggalan desa akan dapat dikurangi. Selama ini, diakui atau tidak, orientasi pembangunan yang dikembangkan pemerintah memang cenderung bias urban. Di Indonesia, pembangunan umumnya dikembangkan dengan menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai pusat pertumbuhan. Kota DKI Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan dengan harapan akan dapat mengangkat daerah hinterland di sekitarnya ikut berkembang seperti kota-kota yang menjadi pusat pertumbuhan. Benarkah demikian?
Pengalaman telah banyak mengajarkan bahwa pola pembangunan wilayah yang bias urban ini ternyata tidak membuat daerah hinterland ikut maju. Alih-alih berkembang menyamai pusat pertumbuhan, dalam kenyataan justru yang terjadi ialah proses marginalisasi dan ketertinggalan desa yang makin jauh dari kota. Proses inilah yang menyebabkan arus urbanisasi berlebih terjadi. Sementara di saat yang sama, sumber daya alam dan aset produksi yang dimiliki orang desa kemudian tergantikan oleh orang-kota kaya dari kota yang melakukan infiltrasi, invasi, dan bahkan suksesi kepemilikan sumber-sumber daya orang desa.
Untuk mencegah agar proses ketersisihan orang desa, khususnya yang terkategori miskin, tidak makin menjadi-jadi, program Asta Cita yang dicanangkan Presiden Prabowo sungguh menjadi sangat penting. Membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan adalah kunci untuk mengatasi permasalahan yang kini terjadi di berbagai desa. Persoalannya sekarang, bagaimana menerjemahkan Asta Cita ini dalam program-program yang nyata dan kontekstual bagi masyarakat miskin yang ada di berbagai daerah.
Membantu dan menyelamatkan orang-orang miskin agar tidak tersingkir dalam proses industrialisasi, pembangunan, dan perubahan sosial yang berlangsung di sekitarnya adalah pekerjaan rumah yang kini harus menjadi agenda penting pemerintah. Apa pun program pembangunan yang nanti dikembangkan di tahun kedua pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang terpenting ialah memastikan manfaat utama program itu benar-benar dirasakan masyarakat miskin. Tanpa ada kesungguhan dari pemerintah untuk berpihak kepada masyarakat miskin, jangan harap ketimpangan dapat teratasi dan kemiskinan dapat dibasmi hingga seakar-akarnya. Bagaimana pendapat Anda?

4 hours ago
1
















































