
LEMBAGA kajian dan penelitian demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) menyerukan agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memperbaiki mutu demokrasi yang terus merosot di Indonesia.
Menurut PVRI, indikator yang mencolok ialah makin melemahnya ruang publik yang aman untuk kritik, tidak ada lagi ruang oposisi di DPR, dan tidak ada lagi integritas pemilu seperti masa-masa sebelumnya.
Ketua Dewan Pengurus PVRI Usman Hamid mengatakan, mutu demokrasi Indonesia sampai pada titik paling rendah. "Itu tidak dalam satu malam. Terjun bebasnya demokrasi kita hari ini adalah hasil dari proses bertahun-tahun penguatan kembali kolusi negara dan oligarki yang kini telah mendomestifikasi kekuatan masyarakat sipil agama sebagai basis terbesar negeri ini," kata Usman melalui siaran pers, Minggu (14/9).
Usman mengkhawatirkan gejala kebangkitan militerisme di tengah tingginya ketimpangan ekonomi dapat menumbuhkan fasisme di Indonesia yang kini mulai terkonsolidasi bentuknya. Salah satunya adalah pelibatan militer dalam berbagai urusan pemerintahan dan program sosial ekonomi pemerintah.
Di luar itu, pembentukan batalyon-batalyon di berbagai wilayah untuk mengurusi masalah pertanian yang bukan urusan pertahanan. Ini ditambah dengan patroli siber militer yang mengarah pada pengawasan percakapan warga negara.
Terakhir, ada pemberlakuan wajib tentang iklan politik pemerintah di bioskop yang berisi penjelasan kemajuan pemerintah. "Itu semua menunjukkan sistem negara itu memakai demokrasi tetapi wuiudnya justru mengarah pada gejala otoriterisme fasis," tutur Usman.
Dalam kesempatan yang sama peneliti Public Virtue Research Institute Muhammad Naziful Haq nenambahkan, persoalan demokrasi di Indonesia sebenarnya lebih luas. Struktur oligarkis itu telah membentuk kultur dan mentalitas Orde Baru tetap bertahan bahkan di era pascaReformasi 1998.
"Anatomi institusi politik kita mungkin demokrasi, tetapi logika cara menjalankannya tetap hierarkis, patron-klien, imbal-jasa, dan sentralistik," jelasnya.
ketika kultur dan praktik ini bertemu, lanjut Nazif, kesempatan politik yang dapat memperluas kekuasaan, rasa malu atas inkompetensi dan kejumudan diri bisa hilang. Meritokrasi sebagai penyaring kelayakan sebuah jabatan akhirnya hilang dari sistem yang dianggap demokrasi. "Padahal ini penting sebagai salah satu bentuk kontrol sosial," terangnya.
Terhitung sejak 2007, tanggal 15 September 2025 menjadi Hari Demokrasi Internasional yang ke-18. Hari Demokrasi Internasional kali ini diwarnai ragam letupan demokrasi di berbagai belahan dunia dan tidak terkecuali Indonesia.
Namun hampir sebagian besar benang merahnya sama, yakni berlarut-larutnya ketimpangan ekstrem dan minimnya etika politik, sehingga memicu kemarahan rakyat dan tuntutan pembaruan rezim secara reformatif maupun struktural.
Hari Demokrasi Internasional kali ini harus menjadi momentum penguatan ulang komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi yang belakangan kontradiktif antara lisan dan kenyataan di kalangan penyelenggara negara.
Oleh karena itu, kata Nazif, Hari Demokrasi Internasional 2025 tidak boleh sekadar menjadi seremoni tahunan. Menurutnya, ini saatnya masyarakat sipil, akademisi, media, dan seluruh warga negara untuk menuntut kembali ruang partisipasi politik yang otentik, menegakkan etika dalam bernegara, serta menolak setiap bentuk penguatan fasisme dalam sistem demokrasi.
"Demokrasi hanya akan hidup sejauh kita berani melawannya dari dalam, mengoreksi penyimpangan yang kian mapan, dan merebut kembali makna kedaulatan rakyat dan membebaskannya dari persekutuan gelap antara negara-oligarki-agama yang kini menguat," pungkas Nazif. (P-4)