
Kalangan petani dan pekerja industri hasil tembakau meminta pemerintah untuk lebih melibatkan mereka dalam pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau. Mereka menilai proses penyusunan kebijakan tersebut masih minim partisipasi dan berpotensi menimbulkan dampak luas terhadap industri, petani, serta tenaga kerja.
Sekretaris Bidang Pendidikan dan Pelatihan atau perwakilan Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman–SPSI (FSP RTMM-SPSI), Iman Setiaman mengatakan bahwa para buruh dan petani tembakau sejauh ini belum dilibatkan secara bermakna dalam proses penyusunan RPMK.
"Sejauh ini, untuk buruh dan petani masih kurang dilibatkan. Kami hanya menyampaikan pendapat saja tanpa mendapat naskah materi perubahan terkait RPMK," kata Iman saat ditemui di Kantor Kementerian Kesehatan, Senin (13/10).
Iman menilai, salah satu poin yang paling meresahkan dari RPMK adalah rencana penerapan plain packaging atau standarisasi kemasan rokok. Menurutnya, kebijakan tersebut justru berpotensi menimbulkan masalah baru berupa meningkatnya peredaran rokok ilegal.
"Kalau plain packaging disahkan, masyarakat akan sulit membedakan rokok legal dan ilegal. Ini justru memudahkan produsen rokok ilegal," ujarnya.
Selain itu, Iman juga memperingatkan bahwa kebijakan RPMK ini tentu akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan pekerja di sektor rokok.
Ia menyebut keputusan pemerintah sebelumnya untuk tidak menaikkan cukai rokok sempat menjadi kabar baik, namun RPMK kembali menimbulkan kekhawatiran baru di kalangan pekerja.
"Dampaknya bagi para pekerja akan signifikan. Bisa terjadi penurunan produktivitas dan pendapatan, bahkan ancaman PHK," ucapnya.
Lebih lanjut, Iman juga menilai bahwa RPMK belum mencerminkan prinsip keadilan antara perlindungan kesehatan masyarakat dan keberlangsungan sektor industri.
"RPMK ini justru berat sebelah, terlalu pro kepada kesehatan dan mengabaikan sektor industri lainnya. Padahal pendapatan negara dari cukai itu mencapai ratusan triliun," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kusnadi Mudi menilai penyusunan RPMK belum sepenuhnya mengakomodasi aspirasi petani di daerah. Ia mengapresiasi upaya Kementerian Kesehatan membuka ruang dialog, namun menilai prosesnya sudah terlambat.
"Harusnya dari awal pembahasan bisa dilakukan harmonisasi dari semua stakeholder, baik industri hasil tembakau, petani, maupun kelompok antitembakau," kata Mudi.
Kusnadi menambahkan, pemerintah seharusnya mempertimbangkan peran penting industri hasil tembakau terhadap perekonomian nasional.
"Kesehatan memang penting, tapi pemerintah juga perlu melihat bahwa industri ini masih menjadi andalan pendapatan negara," jelasnya.
Terkait rencana standarisasi kemasan, Kusnadi menilai kebijakan itu berpotensi besar merugikan petani. Menurutnya, saat ini petani juga tengah menghadapi penurunan produktivitas akibat anomali iklim dan berkurangnya serapan pasar.
"Sekarang saja kemasan dan logo yang beragam sudah mudah dipalsukan. Apalagi nanti kalau semua diseragamkan warnanya, tentu lebih mudah bagi oknum nakal untuk memalsukan," ujarnya.
"Apalagi saat ini hujan terus sepanjang musim menurunkan produktivitas tembakau. Sementara banyak perusahaan besar tidak membeli tembakau, bahkan ada yang menghentikan pembelian dari petani di seluruh Indonesia. Tentu ini akan berdampak pada petani," tambahnya.
Ia pun berharap pemerintah dapat terus membuka dialog yang lebih terbuka sebelum RPMK disahkan.
"Kami tidak anti-regulasi, tapi ingin diajak berunding. Regulasi yang baik harus berpihak pada keberlangsungan hidup pekerja dan petani," pungkasnya. (E-3)