Modantara: BHR Ojol dan Kurir Bentuk Apresiasi, tidak Bisa Dipaksakan

18 hours ago 3
Situs Berita News 24 Jam Jitu
 BHR Ojol dan Kurir Bentuk Apresiasi, tidak Bisa Dipaksakan Demo menuntut THR atau BHR ojol.jpg(Dok. MI/Usman Iskandar)

ASOSIASI Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia atau Modantara mengapresiasi keputusan Presiden Prabowo Subianto yang mengimbau perusahaan layanan pengantaran berbasis aplikasi untuk memberi bonus hari raya (BHR) kepada pengemudi ojek online (ojol) dan kurir dengan mempertimbangkan keaktifan pekerja dan kemampuan finansial perusahaan.

Namun, Modantara mencermati poin-poin pada Surat Edaran Kemnaker Nomor M/3/HK.04.OANU2A25 tentang Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan Tahun 2025 bagi Pengemudi dan Kurir pada Layanan Angkutan Berbasis Aplikasi terdapat ketidakselarasan dengan arahan dari Presiden, dan cenderung tidak menggambarkan pemahaman terhadap kompleksitas industri dan ekosistem.
 
Direktur Eksekutif Modantara Agung Yudha mengatakan, imbauan SE berbeda dengan arahan Presiden bahwa BHR diberikan kepada mitra aktif.

"Bayangkan apakah adil jika mitra yang baru mendaftar kemarin atau baru menyelesaikan 1-2 order mendapatkan BHR? Apakah adil bagi rekannya yang sudah bekerja lebih lama dan lebih produktif? Padahal sangatlah umum di sektor manapun bonus diberikan berdasarkan kinerja dan pencapaian target, serta tergantung bagaimana kemampuan finansial perusahaan, bukan sekadar telah melakukan pendaftaran," kata Agung melalui keterangannya, Selasa (18/3).

Ia menjelaskan, perhitungan BHR ojol sebesar 20% dari pendapatan rata-rata bulanan selama 12 bulan terakhir bagi mitra produktif disebut sangat memberatkan bagi sebagian besar platform.

"Terutama tanpa kejelasan definisi apa yang dimaksud pendapatan bersih, ketentuan ini justru bisa menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian dalam implementasinya. Seharusnya, pemerintah tidak perlu mendikte besaran persentase, melainkan cukup menyerahkan kepada perusahaan sesuai kemampuan finansial mengingat setiap platform memiliki bisnis model dan struktur biaya operasional yang berbeda-beda," katanya.

Agung menegaskan surat edaran maupun imbauan tersebut bukanlah regulasi yang mengikat secara hukum. Pemberian BHR ojol tidak dapat dipaksakan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan usaha.

Ia mengatakan pemerintah tentunya tidak dapat memaksakan perusahaan swasta merugi untuk memberikan bonus. Jika perusahaan tersebut pailit nantinya pemerintah pun tidak dapat memberikan suntikan bantuan.

"Jika pun memberi bonus, itu sudah merupakan suatu itikad baik yang perlu diapresiasi berapapun angkanya. Maka setiap perusahaan berhak menentukan kriteria produktivitas  dalam mempertimbangkan pemberian bonus ini," katanya.

Ia menilai jika kebijakan hanya didasarkan untuk memuaskan seruan dari pihak-pihak yang tidak berada di dalam ekosistem ataupun pada pihak yang tidak merepresentasikan mayoritas mitra pengemudi tentulah dapat berakibat fatal.

"Jika tetap dipaksakan, maka skenario terburuknya dan sudah ada banyak contoh di negara lain. Di Swiss, jumlah pengemudi Uber Eats turun 67% setelah putusan pengadilan. Di Spanyol, Glovo hanya mempertahankan 17% mitranya, Uber memberhentikan 4.000 mitra, dan Deliveroo keluar dari pasar," katanya.

Lebih lanjut, Agung menghargai setiap upaya untuk mendukung mitra. Namun, kebijakan juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan industri dan fleksibilitas yang menjadi dasar ekosistem ini.

"Memaksakan kebijakan yang tidak realistis justru berisiko menciptakan masalah lebih besar, termasuk meningkatnya angka pengangguran dan hilangnya peluang ekonomi bagi jutaan masyarakat yang mengandalkan platform digital sebagai sumber penghasilan alternatif," katanya.

Ke depannya, kata ia, pemerintah perlu menggandeng pihak-pihak yang memiliki relevansi dan kredibel dengan kebijakan yang akan diambil, serta benar-benar merupakan bagian dari ekosistem. (H-3)

Read Entire Article
Global Food