
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi No. 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut pada dasarnya, membedakan waktu pemilu nasional yakni pemilu memilih anggota DPD, DPR, dan pemilihan presiden/wakil presiden (pilpres) dipisah dengan pemilu lokal yakni memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik tingkat provinsi hingga kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah (pilkada). Berdasar pada putusan tersebut, maka pemilu nasional akan dilakukan pada tahun 2029, sedangkan pemilu lokal dilaksanakan dua tahun atau dua tahun setengah setelah pemilu nasional digelar yakni pada tahun 2031.
Beragam respons diberikan setelah putusan ini diucapkan, termasuk salah satunya dari partai politik. Partai Nasional Demokrat (NasDem) merupakan partai politik pertama yang menanggapi putusan MK ini dengan sangat keras dan tegas. Dalam 10 poin pernyataan sikapnya, Partai NasDem pada intinya menegaskan jika Putusan MK ini masuk kategori inkonstitusional meskipun diputus oleh lembaga yang kerap disebut sebagai Guardian of Constitution.
Seiring berjalannya waktu, rupanya Partai NasDem tidak sendiri, ungkapan senada juga disampaikan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, ada potensi pelanggaran terhadap konstitusi jika putusan tersebut diterapkan. Bahkan, Ketua DPR RI, Puan Maharani dalam keterangan pers menyatakan jika lembaga legislatif masih belum bersikap dan masih melakukan kajian terhadap Putusan MK itu.
Dua realitas
Secara praktik, Putusan MK ini akan dihadapkan pada dua realitas yang cukup membingungkan publik. Pada satu sisi, Putusan MK bersifat final dan mengikat, namun pada sisi yang lain menjalankan Putusan MK tentang pemisahan waktu pemilu nasional dan pemilu lokal tidak sesuai dengan Pasal 22 E Undang-Undang Dasar, yang menyebut jika pemilu digelar setiap lima tahun sekali. Kebingungan inilah yang oleh Partai NasDem dalam pernyataan sikapnya disebut sebagai krisis konstitusional. Oleh karenanya, dapat dipahami jika DPR RI dan pemerintah belum bersikap dan masih akan melakukan pendalaman lebih lanjut akan putusan tersebut.
Hal lain, adalah masa transisi dua tahun jika pemilu lokal dilakukan pada tahun 2031. Pengisian kekosongan jabatan menjadi isu yang sentral pada masa transisi. Kekosongan jabatan kepala daerah, mungkin bisa saja diisi oleh pj gubernur, pj bupati dan pj walikota dari unsur ASN sebagaimana dilakukan pada saat masa transisi di berbagai daerah agar Pilkada bisa dilakukan serentak 2024 lalu.
Namun, menjadi masalah adalah pengisian jabatan Anggota DPRD dalam jangka waktu dua tahun. Jika dipaksa melakukan pengisian jabatan maka juga terdapat dua problem utama. Pertama, pengisian jabatan itu melanggar Undang-undang Dasar karena jabatan politik DPRD itu legitimasinya adalah suara rakyat yang dipilih dalam pemilu dan setiap lima tahun sekali.
Kedua jika dipaksa mengisi maka apakah jabatan DPRD itu dilanjutkan atau dibentuk DPRD Sementara dengan menggunakan skema tertentu, yang justru menyisakan perdebatan teknis lagi di kemudian hari. Wajar saja, jika pertanyaan-pertanyaan sebagaimana diuraikan di atas muncul di benak publik. Sehingga,tidak berlebihan juga jika kembali kepada statemen Partai NasDem yang menyebut jika putusan MK ini melanggar prinsip kepastian hukum dengan mengambil jalan inkonstitusional.
Belum lagi, jika pilkada dan pemilihan DPRD digelar bersamaan pada 2031, maka syarat ambang batas partai mencalonkan kepala daerah dengan rentang 6,5 sampai 10% juga menjadi masalah, karena pada Pilkada 2024 lalu syarat ambang batas partai mencalonkan mengikuti pada hasil Pemilu 2024 yang disesuaikan dengan hasil perolehan suara partai di daerah.
Jika Pemilu DPRD dan Pilkada diserentakkan pada 2031, maka acuan ambang batas mana yang akan dipakai partai untuk mengajukan calon kepala daerah, ataukah justru DPR dan pemerintah akan mengganti aturan soal ambang batas sebagaimana dimaksud, sehingga lagi-lagi problem teknis yang begitu panjang dan rumit terjadi setelah putusan MK ini diucapkan.
Secara ketatanegaraan, pembahasan mengenai positive legislature MK ini sudah lama menjadi bahan perdebatan baik di kalangan akademisi maupun di dalam lingkup pemerintahan. Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024, menurut hemat penulis sudah melampaui apa yang dimaksud sebagai positive legislature itu sendiri, karena menciptakan sebuah norma baru dalam sebuah putusan dengan kondisi saat ini sedang tidak dalam keadaan kekosongan aturan hukum, khususnya dalam konteks pemilu.
Terlebih, saat ini DPR RI juga sedang mempersiapkan perubahan undang-undang pemilu yang terbaru, sehingga dengan adanya putusan ini, bisa saja MK dengan putusan tersebut juga ingin memasukkan ketentuan itu ke dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu, sehingga kewenangan DPR dan pemerintah dalam membentuk undang-undang bisa jadi ter-intervensi.Sehingga,lagi-lagi tidak berlebihan jika Partai NasDem menyebut putusan itu mencuri kedaulatan rakyat. Karena, kewenangan pembentukan undang-undang ada pada lembaga legislatif yang merupakan pencerminan dari kedaulatan rakyat.
Sebagai mantan ketua partai politik, penulis merasa putusan MK ini cukup problematik, mengingat pada pengalaman dua Pemilu yakni tahun 2019 dan tahun 2024, para calon anggota legislatif pada semua tingkatan yang berada dalam satu partai, baik pusat hingga kabupaten/kota dan berada dalam satu daerah pemilihan (dapil) kerap bekerjasama dalam merebut suara rakyat. Tentu, ini merupakan kerja sama yang sangat positif. Dimana, visi dan misi partai dalam mewujudkan pembangunan pada tingkat pusat hingga daerah bisa disampaikan secara baik kepada pemilih.
Sehingga, pada saat mereka terpilih jalinan komunikasi antara DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota terjalin sangat harmonis dan mampu membantu menyelesaikan permasalahan yang ada di daerah. Pemisahan pemilu lokal dan pemilu nasional, justru dapat menghilangkan 'chemistry' tersebut, sebab meski mereka ikut dalam kompetisi yang sama, namun dilaksanakan pada rentang waktu yang berbeda.
Menemukan solusi
Harus diakui, terdapat kejenuhan pada perhelatan pemilu dan pilkada secara serentak dengan waktu yang berdekatan. Namun, permasalahan ini harusnya menjadi fokus para pembuat undang-undang yakni legislatif dan eksekutif, berdasarkan hasil evaluasi pada perhelatan Pemilu dan Pilkada 2024 lalu. Dengan begitu, maka kekurangan-kekurangan yang terjadi bisa ditutupi dengan adanya perubahan aturan tentang pemilu dan pilkada.
Namun, faktanya kini sudah di depan mata, putusan sudah diucapkan, pemerintahan baik legislatif dan eksekutif terikat pada putusan tersebut, namun semuanya masih berpikir panjang untuk melakukan eksekusi pada putusan MK kali ini. Kita semua berharap, pemerintah dan DPR RI bisa menemukan solusi terkait masalah ini, agar sistem pemilu kita terus membaik di masa mendatang, dan berimbas pada terpilihnya sosok yang kompeten dan amanah baik mengisi jabatan legislatif hingga jabatan eksekutif.