Kanker Usus Besar Meningkat di Usia Muda: Waspadai Gejala dan Lakukan Skrining Dini

1 week ago 9
Web Warta News 24 Jam Akurat Online
 Waspadai Gejala dan Lakukan Skrining Dini Kanker kolorektal kini semakin sering menyerang orang di usia muda, menurut para ahli di Yale Medicine. Simak gejalanya berikut.(freepik)

SELAMA ini banyak yang mengira kanker kolorektal (kanker usus besar dan rektum) hanya menyerang orang berusia 60-an ke atas. Kenyataannya, kanker ini semakin sering ditemukan sejak usia 20-an. 

Karena itu, para ahli bedah di Yale Medicine mengimbau agar siapa pun yang berusia di bawah 45 tahun, termasuk mahasiswa, segera berkonsultasi ke dokter jika mengalami gejala mencurigakan. Gejala seperti sembelit, pendarahan rektum, atau perubahan mendadak dalam pola buang air besar.

Para dokter bedah Kolon & Rektum di Yale Medicine kini semakin sering menemukan kasus kanker kolorektal pada pasien muda. Salah satunya adalah seorang ayah berusia 30-an dengan empat anak yang mengira pendarahan rektumnya hanya karena ambeien. Dalam satu minggu saja, semua dari tujuh pasien yang didiagnosis kanker rektum di klinik mereka adalah orang muda, yang tertua berusia 35 tahun dan yang termuda baru 18 tahun.

Pada awal 2023, American Cancer Society (ACS) melaporkan 20% diagnosis kanker kolorektal pada 2019 terjadi pada pasien di bawah usia 55 tahun, dua kali lipat dibandingkan tahun 1995. Kasus stadium lanjut meningkat sekitar 3% per tahun pada mereka yang berusia di bawah 50 tahun. Diperkirakan pada 2023, akan ada 19.550 kasus baru dan 3.750 kematian akibat kanker kolorektal di kelompok usia ini.

Pada 2021, dua lembaga panduan kesehatan di AS merekomendasikan agar orang mulai melakukan skrining kanker kolorektal pada usia 45 tahun, lima tahun lebih awal dari rekomendasi sebelumnya, dan dilanjutkan hingga usia 75 tahun.

“Kami melihat peningkatan yang jelas pada kanker kolorektal di generasi yang lebih muda,” ujar Dr. Haddon Pantel, ahli bedah kolorektal Yale Medicine.

Meskipun kasus terbanyak masih ditemukan pada orang berusia di atas 65 tahun, tren di kelompok lansia justru menurun, dan mereka juga lebih jarang mengalami kanker stadium lanjut dibanding kelompok usia muda.

Faktanya, menurut laporan ACS tahun 2024, kanker kolorektal kini menjadi penyebab kematian akibat kanker nomor satu pada pria di bawah 50 tahun, dan nomor dua pada perempuan di bawah 50 tahun (setelah kanker payudara).

“Kalau ada perubahan pada pola buang air besar atau pendarahan, meski dikira ambeien dan tak kunjung sembuh, segera lakukan kolonoskopi,” tutur Dr. Vikram Reddy, ahli bedah kolorektal.

Meski kanker kolorektal cenderung bisa diobati, diagnosis ini bisa sangat mengguncang hidup Generasi Z, Milenial, hingga Generasi X. Penyakit ini bisa mengganggu karier, keuangan, dan memaksa mereka membuat keputusan besar dalam waktu singkat misalnya soal menyimpan sel telur atau sperma sebelum pengobatan yang bisa memengaruhi kesuburan.

Sekitar 15 tahun lalu, Dr. Reddy adalah salah satu peneliti pertama yang mengamati tren meningkatnya kanker kolorektal pada usia muda. Kini, ia dan rekan-rekannya makin gencar mengedukasi masyarakat agar kanker ini bisa dideteksi sejak dini saat masih mudah diobati.

Apa Penyebabnya?

Belum ada jawaban pasti mengapa kasus kanker kolorektal meningkat di usia muda. Gaya hidup seperti kurang gerak, obesitas, merokok, konsumsi alkohol berlebihan, pola makan tinggi lemak dan rendah serat, serta konsumsi daging olahan diduga menjadi faktor pemicu. Faktor genetik seperti riwayat keluarga dan penyakit radang usus juga berkontribusi.

Banyak kasus yang tidak bisa dijelaskan secara genetik. Sindrom Lynch, penyebab genetik yang paling umum biasanya menyebabkan tumor di sisi kanan usus besar. Tapi sebagian besar pasien muda tidak memiliki pola tersebut. Banyak dari mereka yang mengalami kanker secara sporadis, tanpa riwayat genetik jelas.

Peneliti di Yale dan tempat lain sedang mempelajari lebih jauh, termasuk kemungkinan adanya gen lain yang belum ditemukan. Dari sekitar 20.000 gen manusia, baru sepertiga yang sudah bisa dipetakan ke kondisi medis tertentu.

Penelitian juga terus dikembangkan dalam bidang molecular tumor profiling, yaitu analisis DNA dari jaringan tumor untuk menentukan pengobatan paling tepat.

Perlukah Anak Muda Kolonoskopi?

Meskipun kasusnya meningkat, jumlah penderita kanker kolorektal usia muda masih belum cukup tinggi untuk merekomendasikan kolonoskopi rutin bagi semua orang muda. Tes skrining harus memiliki manfaat besar dalam mencegah kanker untuk bisa diterapkan secara luas.

Kolonoskopi dilakukan dengan memasukkan tabung fleksibel berkamera melalui rektum untuk memeriksa usus besar. Polip yang berpotensi jadi kanker bisa langsung diangkat selama prosedur. Karena itu, kolonoskopi dianggap berperan besar dalam menurunnya kasus kanker kolorektal secara umum.

Sebelum ada pembaruan panduan, para ahli sudah sejak lama merekomendasikan skrining dimulai pada usia 45 tahun untuk orang kulit hitam karena risiko yang lebih tinggi. Bila ada riwayat keluarga, bisa dimulai lebih awal yaitu pada usia 40 tahun atau 10 tahun sebelum usia anggota keluarga yang terdiagnosis.

Bagi orang yang mengalami gejala seperti pendarahan rektum, tapi belum diketahui penyebabnya, Dr. Reddy menyarankan kolonoskopi, berapapun usianya.

Gejala yang Harus Diwaspadai

Jika kamu mengalami gejala berikut, segera konsultasikan dengan dokter:

  • Pendarahan rektum: Bisa berupa darah di tinja atau di toilet setelah buang air besar.
  • Bentuk tinja tidak biasa: Misalnya tinja sangat tipis, berwarna gelap atau hitam.
  • Perubahan pola buang air besar: Diare atau sembelit selama lebih dari dua minggu.
  • Lemas atau kelelahan: Bisa jadi karena anemia akibat pendarahan internal.
  • Perut terasa penuh, nyeri, atau kehilangan nafsu makan: Bisa jadi tanda penyumbatan atau tumor.

“Bahkan kalau kamu baru berusia 20-an atau 30-an, kalau ada pendarahan, perubahan pola BAB, berat badan turun, atau perut sering sakit—jangan anggap sepele,” ungkap Dr. Pantel.

Beberapa orang bahkan tidak merasakan gejala sama sekali. Maka dari itu, kalau kamu punya riwayat kanker kolorektal di keluarga, bicarakan dengan dokter tentang kemungkinan tes lebih awal.

Jangan takut menjalani pemeriksaan. Persiapan kolonoskopi memang bisa merepotkan karena perlu minum obat pencahar kuat untuk membersihkan usus, tapi kolonoskopi tetap jadi standar emas dalam mendeteksi kanker ini.

Gaya Hidup Sehat untuk Mencegah Kanker Kolorektal

Langkah-langkah berikut bisa membantu mengurangi risiko:

  • Berhenti merokok, termasuk rokok elektrik.
  • Batasi alkohol: Maksimal dua gelas per hari untuk pria, satu gelas untuk wanita.
  • Rutin olahraga: Gaya hidup tidak aktif meningkatkan risiko kanker.
  • Turunkan berat badan: Obesitas sangat berkaitan dengan risiko kanker, terutama di usus besar.
  • Konsumsi cukup serat: Targetkan 25 gram serat per hari dari buah, sayur, biji-bijian, dan kacang-kacangan. Rata-rata orang Amerika hanya mengonsumsi 10–15 gram.

Jika Terdiagnosis Kanker Kolorektal

Kabar baiknya, pengobatan kanker kolorektal, baik melalui operasi maupun terapi tambahan seperti kemoterapi atau radiasi, bisa sangat efektif bahkan pada kasus stadium lanjut. Namun, pengobatan bisa sangat kompleks, terutama pada kanker rektum yang letaknya lebih sulit dijangkau dan sensitif karena terkait dengan fungsi kontrol buang air besar.

Beberapa pasien mungkin memerlukan kolostomi, yaitu membuat lubang di perut untuk menyalurkan tinja ke kantong khusus. Tindakan ini bisa bersifat sementara atau permanen.

Perjuangan Emosional: Jangan Hadapi Sendiri

Diagnosis kanker bisa menjadi pukulan berat, apalagi bagi mereka yang masih muda dan aktif secara sosial. Banyak yang khawatir soal penampilan, kesuburan, hingga hubungan asmara.

Philana Gydricza, pekerja sosial klinis di Smilow Cancer Hospital, mengatakan bahwa kanker seringkali terasa seperti penyusup di rumah sendiri. Ia membantu pasien menangani berbagai masalah, mulai dari finansial hingga dukungan psikologis. Salah satu pasiennya, seorang perempuan muda yang akan menjalani kolostomi, bahkan membawa tumpukan pakaian untuk memastikan posisi kantong kolostomi tidak terlihat dari luar. Kekhawatirannya ditanggapi dengan serius oleh tim medis.

“Kami selalu mengingatkan pasien bahwa mereka tetap bisa merasa seksi dan cantik setelah pengobatan,” tutur Philana Gydricza, pekerja sosial klinis. (Yale Medicine/Z-2)

Read Entire Article
Global Food