
Ketiadaan aturan mengenai keterwakilan perempuan dalam komposisi hakim konstitusi dipersoalkan menjadi alasan enam mahasiswa memohonkan uji materiil Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para Pemohon menilai Pasal 18 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, ditetapkan dengan Keputusan Presiden” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945.
Salah satu pemohon, Safira Ika Maharani menjelaskan bahwa meskipun para Pemohon belum memenuhi syarat kumulatif menjadi hakim Mahkamah Konstitusi, namun berpotensi untuk memenuhi syarat menjadi hakim konstitusi di masa mendatang.
“Dengan demikian, para Pemohon setidak-tidaknya potensial mengalami kerugian konstitusional atas keberlakuan norma tersebut,” katanya pada Sidang Pendahuluan Perkara 27/PUU-XXIII/2025 di Gedung MK pada Kamis (24/4).
Safira menekankan bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU MK tersebut tidak menentukan secara jelas mengenai jumlah komposisi hakim konstitusi perempuan dan laki-laki. Ia menilai terdapat ketidakpastian hukum karena secara aktual dan potensial tidak terdapat kepastian kuota kursi menjadi hakim konstitusi.
Utamanya para Pemohon meminta agar diberikan ruang yang terbuka bagi perempuan untuk ikut andil dalam penentuan keputusan hukum di masyarakat, termasuk menjadi hakim konstitusi dengan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam komposisi hakim konstitusi.
“Atas dalil tersebut, para Pemohon memohon agar Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, dengan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) untuk selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden,” ucap Safira dalam petitumnya.
Kerugian Konstitusional
Dalam nasihat Hakim Panel, Hakim Konstitusi Guntur mempertanyakan kenapa para Pemohon tidak mengaitkan kerugian konstitusional dengan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945.
“Terkait hakim konstitusi sudah sangat jelas dalam Pasal 24C ayat (3) yang tidak digunakan pada permohonan ini, padahal Mahkamah menjadikan dasar pengujian norma itu adalah konstitusi,” jelas Guntur.
Sementara Hakim Konstitusi Ridwan dalam nasihatnya memberikan catatan terkait kedudukan hukum para Pemohon laki-laki.
“Kedudukan dan kepentingannya serta potensial kerugian yang dialami laki-laki atas kuota 30% ini apa saja?” tanya Ridwan.
Terkait alasan permohonan, Hakim Konstitusi Ridwan juga meminta para Pemohon untuk teliti memaknai dasar gender dalam pengujian norma. Sehingga tidak sekadar menyatakan affirmative action dengan pencantuman 30% kuota hakim perempuan dari sembilan hakim konstitusi.
Kemudian Hakim Konstitusi Enny dalam nasihatnya meminta para Pemohon untuk mencermati kedudukan hukum sebagai mahasiswa.
“Ketersambungannya agak jauh, bagaimana legal standing bisa menyakinkan atas kerugian konstitusional. Pertimbangkan kembali Pasal 18 ayat (1) ini tidak bisa dipisahkan dnegan Pasal 24C UUD 1945 dan jabatan MK ini selective official. Jika dikabulkan apa dampaknya dan tidakkah akan menimbulkan diskriminasi,” terang Enny. (Dev/P-1)